Minggu, 03 November 2013


1.         Latar Belakang

Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda. Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis. Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka (Muslim, 2009).


Diantara beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus terbesar  yang menimbulkan masalah  kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang kemudian mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto, 2008).
Akibat utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti cara-cara hidup sehat.

2.      Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Mengetahui klasifikasi Nematoda parasit usus
2.      Mengetahui hospes dan nama penyakit yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
3.      Mengetahui epidemiologi yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
4.      Mengetahui distribusi geografik Nematoda  parasit usus
5.      Mengetahui morfologi dan daur hidup dari Nematoda parasit usus
6.      Mengetahui patologi Nematoda parasit usus
7.      Mengetahui pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus
















BAB II
ISI

A.       Ascaris lumbricoides

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Class                : Nematoda
Subclass          : Secernemtea
Ordo                : Ascoridida
Super famili     : Ascoridciidea
Genus              : Ascaris
Species            : Ascaris lumbricoides

·         Morfologi

Cacing Ascaris berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
 Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia.  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
(Muslim, 2009).
Cacing ini telah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular, yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior 1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang melintang
·         Siklus Hidup

Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus -> Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan -> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.  Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim, 2009).
·         Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).

·         Epidemiologi
Prevalensi askariasis  di Indonesia tinggi, terutama yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%.  Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira 25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara – negara  tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).

·         Patologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1.    Fase perpindahan larva dari darah ke paru-paru.
Selama perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah, batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.

2.    Fase dewasa di usus
Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1.    Mencegah kontak dengan tanah yang mengandung feses manusia
2.    Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC yang baik.
3.    Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4.    Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah
5.    Cuci, kupas atau masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6.    Edukasi kesehatan melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7.    Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat dilakukan yaitu walaupun askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan (kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B.  Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Kelas               : Nematoda
Ordo                : Ascaridida
Superfamili      : Ascaridoidea
Genus              : Toxocara
Species            : Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10 cm dan Toxocara cati  jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk cacing ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing  (Soedarto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan  menelan telur infektif atau dengan memekan hospes paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.

·         Distribusi Geografik
Cacing – cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).

·         Patologi
Pada manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang mengembara tersebut disebut Visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga disebabkan oleh larva lain.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan seksama sayur lalapan.

C.  Necator americanus

·         Klasifikasi
Phylum                  : Nemathelminthes
Kelas                     : Nematoda
Subkelas                : Secernentea
Ordo                      : Strongiloidae
Superfamili            : Ancylostomatoidea
Genus                    : Necator / Ancylostoma
Species                  : Necator americanus
·         Morfologi
a.    Memiliki plat-plat pemotong sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b.    Jantan ukurannya 9 mm dan betina ukurannya11mm.
c.    Vulva, sedikit kearah anterior dari pertengahan tubuh.
d.   Tidak ada duri pada ujung ekor
·         Siklus Hidup
Telur – larva rabditiform – larva filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus halus

·         Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum (Prianto, 2006).
·         Epidemologi
                                  Tempat habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o - 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa. Necator americanus adalah spesies yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale  adalah species yag dominan di Lautan Tengah, Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto, 2008).

·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis atau pneumona.

·         Pencegahan dan Pengendalian
1.      Memutuskan daur hidup dengan cara
a.    Defikasi di jamban
b.    Menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c.    Menberi pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2.      Penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara menghindari infeksi cacing.



D.  Ancylostoma duodenale

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes 
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Secernemtea
Ordo                :           Rhabditida
Family             :           Rhabditoidea
Genus              :           Ancylostoma
Species            :           Ancylostoma duodenale

·         Morfologi

 

Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan. Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles), mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak 10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x 40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan.  Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).

·         Siklus Hidup







Siklus hidup pada Ancylostoma duodenale secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit -> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea -> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus. Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus. Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4 kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir; melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat terjadi (Susanto, 2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni sepatu dan sandal (Prianto, 2006).



·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·         Pencegahan dan pengendalian

Di dalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan lubang-lubang kakus.  Penerangan masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.

E.  Strongyloides stercoralis
·         Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum            :Nemathelminthes 
Class                :Nematoda
Subclass          :Adenophorea
Ordo                :Enoplida
Super famili     :Rhabiditoidea
Genus              :Strongyloides
Species            : Strongyloides stercoralis
·         Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk parasitik, sebesar  54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah  diberi pencahar yang kuat.
·         Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a.       Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke  paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b.      Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c.       Autoinfeksi
Larva  rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006 ).
·         Distribusi geografis dan Kondisi Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·         Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur, berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·         Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit,  timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan  Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada  strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah mungkin  ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·         Pecegahan dan pengendalian
a.    Pakailah alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b.    Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c.    Rawatlahpenderitayang sudahterkenapenyakittersebut
d.   Sanitasi pembuangan tinja
e.    Melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.     Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta pemakaian jamban.

Praktek-praktek kebersihan yang dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol (Klirgman, 2000).

F.   Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis/cacing kremi)

·         Klasifikasi
Phylum    : Nematoda
Class       :Secernentea
Ordo        :Strongylida
Famili      : Oxyuroidae
Genus      : Enterobius
Species     : Enterobius vermicularis
·         Morfologi
Cacing  dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae), posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher. Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris, sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik, salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·         Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas -> menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum bagian atas ileum. 
                        Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
                        Cacing betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
                        Infeksi cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
                        Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini biasanya  terjadi di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·         Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus  dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah, dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi  (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengobatan Enterobius efektif jika semua penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
            Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a.       Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari selama 8 hari
b.      Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c.       Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram
d.      Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e.       Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih dari satu kali
(Soedarto, 2008).

Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya :
·         Menjaga kebersihan diri sendiri
·         Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·         Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.

G. Trichuris trichiura

·         Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum            :  Nemathelminthes
Class                :  Nematoda
Subclass          :   Adenophorea
Ordo                :   Enoplida
Famili              :  Trichinelloidea
Genus              :  Trichuris
Species            :  Trichuris trichiura


·         Morfologi                                                       



Cacing Trichuris trichiura dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk  di Indonesia.
Sebuah survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·         Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H.  Trichinella spiralis

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Adenophorea
Ordo                :           Enoplida
Family             :           Trichinelloidea
Genus              :           Trichinella
Species            :           Trichinella spiralis
·         Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya 1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm.  Karakteristik tubuhnya adalah :
1.      ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat tanpa papil,
2.      ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3.      pada cacing betina ovariumnya tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan tumpul
4.      tidak mempunyai spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi.
5.      Cacing betina tidak mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak (Muslim,2009).




·         Siklus Hidup

Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris Trichinella spiralis hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk, berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus  bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk  ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap. ­­­­
·         Patologi
Selain kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf  pusat. Apabila penderita tidak segera diobati, kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen. Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan parasit,  peradangan ini disertai sembab. Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak  memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna kelabu yang tidak  menarik.
I.     Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
·         Klasifikasi
Phylum                : Nemathelminthes         
Kelas                    : Nematoda
Subkelas              : Secernentea
Ordo                    : Strongiloidae
Superfamili          : Ancylostomatoidea
Genus                  : Ancylostoma
·         Hospes dan Nama Penyakit
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·         Epidemiologi, Distribusi geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Susanto, 2008).
·         Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada  panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm. Sedangkan Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·         Siklus hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).

·         Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease, atau  cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras, merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali  dan bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim, 2009).
Di Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung, dan pantat.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.


BAB III
KESIMPULAN

Nematoda parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang  dapat melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan tertata, sarana jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1.      Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2.      Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing tambang, Strongyloides  stercoralis
3.      Telur infektif masuk melalui mulut, melalui udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4.      Larva infektif masuk mulut bersama daging yang dimakan :Trichinella spiralis.

Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit usus yaitu:
1.      Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan perforasi usus.
2.      Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1.      Mengobati penderita dan massa.
2.      Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.      Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.      Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.      Pembuatan MCK yang sehat dan teratur



DAFTAR PUSTAKA

A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean country. Eastern Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale: EMHJ • Vol. 16 No. 3

KlBAB I
PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang

Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda. Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis. Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka (Muslim, 2009).
Diantara beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus terbesar  yang menimbulkan masalah  kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang kemudian mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto, 2008).
Akibat utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti cara-cara hidup sehat.

2.      Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Mengetahui klasifikasi Nematoda parasit usus
2.      Mengetahui hospes dan nama penyakit yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
3.      Mengetahui epidemiologi yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
4.      Mengetahui distribusi geografik Nematoda  parasit usus
5.      Mengetahui morfologi dan daur hidup dari Nematoda parasit usus
6.      Mengetahui patologi Nematoda parasit usus
7.      Mengetahui pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus

















BAB II
ISI

A.       Ascaris lumbricoides

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Class                : Nematoda
Subclass          : Secernemtea
Ordo                : Ascoridida
Super famili     : Ascoridciidea
Genus              : Ascaris
Species            : Ascaris lumbricoides

·         Morfologi

Cacing Ascaris berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
 Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia.  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
(Muslim, 2009).
Cacing ini telah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular, yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior 1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang melintang
·         Siklus Hidup

Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus -> Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan -> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.  Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim, 2009).
·         Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).

·         Epidemiologi
Prevalensi askariasis  di Indonesia tinggi, terutama yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%.  Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira 25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara – negara  tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).

·         Patologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1.    Fase perpindahan larva dari darah ke paru-paru.
Selama perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah, batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.

2.    Fase dewasa di usus
Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1.    Mencegah kontak dengan tanah yang mengandung feses manusia
2.    Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC yang baik.
3.    Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4.    Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah
5.    Cuci, kupas atau masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6.    Edukasi kesehatan melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7.    Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat dilakukan yaitu walaupun askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan (kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B.  Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Kelas               : Nematoda
Ordo                : Ascaridida
Superfamili      : Ascaridoidea
Genus              : Toxocara
Species            : Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10 cm dan Toxocara cati  jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk cacing ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing  (Soedarto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan  menelan telur infektif atau dengan memekan hospes paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.

·         Distribusi Geografik
Cacing – cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).

·         Patologi
Pada manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang mengembara tersebut disebut Visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga disebabkan oleh larva lain.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan seksama sayur lalapan.

C.  Necator americanus

·         Klasifikasi
Phylum                  : Nemathelminthes
Kelas                     : Nematoda
Subkelas                : Secernentea
Ordo                      : Strongiloidae
Superfamili            : Ancylostomatoidea
Genus                    : Necator / Ancylostoma
Species                  : Necator americanus
·         Morfologi
a.    Memiliki plat-plat pemotong sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b.    Jantan ukurannya 9 mm dan betina ukurannya11mm.
c.    Vulva, sedikit kearah anterior dari pertengahan tubuh.
d.   Tidak ada duri pada ujung ekor
·         Siklus Hidup
Telur – larva rabditiform – larva filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus halus

·         Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum (Prianto, 2006).
·         Epidemologi
                                  Tempat habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o - 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa. Necator americanus adalah spesies yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale  adalah species yag dominan di Lautan Tengah, Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto, 2008).

·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis atau pneumona.

·         Pencegahan dan Pengendalian
1.      Memutuskan daur hidup dengan cara
a.    Defikasi di jamban
b.    Menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c.    Menberi pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2.      Penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara menghindari infeksi cacing.



D.  Ancylostoma duodenale

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes 
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Secernemtea
Ordo                :           Rhabditida
Family             :           Rhabditoidea
Genus              :           Ancylostoma

Species            :           Ancylostoma duodenale

·         Morfologi

Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan. Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles), mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak 10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x 40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan.  Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).

·         Siklus Hidup







Siklus hidup pada Ancylostoma duodenale secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit -> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea -> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus. Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus. Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4 kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir; melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat terjadi (Susanto, 2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni sepatu dan sandal (Prianto, 2006).



·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·         Pencegahan dan pengendalian

Di dalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan lubang-lubang kakus.  Penerangan masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.

E.  Strongyloides stercoralis
·         Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum            :Nemathelminthes 
Class                :Nematoda
Subclass          :Adenophorea
Ordo                :Enoplida
Super famili     :Rhabiditoidea
Genus              :Strongyloides
Species            : Strongyloides stercoralis
·         Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk parasitik, sebesar  54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah  diberi pencahar yang kuat.
·         Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a.       Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke  paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b.      Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c.       Autoinfeksi
Larva  rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006 ).
·         Distribusi geografis dan Kondisi Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·         Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur, berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·         Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit,  timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan  Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada  strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah mungkin  ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·         Pecegahan dan pengendalian
a.    Pakailah alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b.    Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c.    Rawatlahpenderitayang sudahterkenapenyakittersebut
d.   Sanitasi pembuangan tinja
e.    Melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.     Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta pemakaian jamban.

Praktek-praktek kebersihan yang dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol (Klirgman, 2000).

F.   Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis/cacing kremi)

·         Klasifikasi
Phylum    : Nematoda
Class       :Secernentea
Ordo        :Strongylida
Famili      : Oxyuroidae
Genus      : Enterobius
Species     : Enterobius vermicularis
·         Morfologi
Cacing  dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae), posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher. Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris, sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik, salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·         Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas -> menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum bagian atas ileum. 
                        Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
                        Cacing betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
                        Infeksi cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
                        Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini biasanya  terjadi di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·         Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus  dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah, dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi  (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengobatan Enterobius efektif jika semua penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
            Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a.       Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari selama 8 hari
b.      Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c.       Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram
d.      Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e.       Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih dari satu kali
(Soedarto, 2008).

Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya :
·         Menjaga kebersihan diri sendiri
·         Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·         Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.

G. Trichuris trichiura

·         Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum            :  Nemathelminthes
Class                :  Nematoda
Subclass          :   Adenophorea
Ordo                :   Enoplida
Famili              :  Trichinelloidea
Genus              :  Trichuris
Species            :  Trichuris trichiura


·         Morfologi                                                       



Cacing Trichuris trichiura dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk  di Indonesia.
Sebuah survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·         Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H.  Trichinella spiralis

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Adenophorea
Ordo                :           Enoplida
Family             :           Trichinelloidea
Genus              :           Trichinella
Species            :           Trichinella spiralis
·         Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya 1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm.  Karakteristik tubuhnya adalah :
1.      ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat tanpa papil,
2.      ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3.      pada cacing betina ovariumnya tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan tumpul
4.      tidak mempunyai spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi.
5.      Cacing betina tidak mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak (Muslim,2009).




·         Siklus Hidup

Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris Trichinella spiralis hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk, berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus  bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk  ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap. ­­­­
·         Patologi
Selain kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf  pusat. Apabila penderita tidak segera diobati, kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen. Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan parasit,  peradangan ini disertai sembab. Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak  memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna kelabu yang tidak  menarik.
I.     Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
·         Klasifikasi
Phylum                : Nemathelminthes         
Kelas                    : Nematoda
Subkelas              : Secernentea
Ordo                    : Strongiloidae
Superfamili          : Ancylostomatoidea
Genus                  : Ancylostoma
·         Hospes dan Nama Penyakit
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·         Epidemiologi, Distribusi geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Susanto, 2008).
·         Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada  panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm. Sedangkan Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·         Siklus hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).

·         Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease, atau  cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras, merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali  dan bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim, 2009).
Di Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung, dan pantat.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.



BAB III
KESIMPULAN

Nematoda parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang  dapat melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan tertata, sarana jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1.      Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2.      Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing tambang, Strongyloides  stercoralis
3.      Telur infektif masuk melalui mulut, melalui udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4.      Larva infektif masuk mulut bersama daging yang dimakan :Trichinella spiralis.

Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit usus yaitu:
1.      Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan perforasi usus.
2.      Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1.      Mengobati penderita dan massa.
2.      Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.      Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.      Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.      Pembuatan MCK yang sehat dan teratur




DAFTAR PUSTAKA

A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean country. Eastern Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale: EMHJ • Vol. 16 No. 3

Klirgman, B. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Nugroho, Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta: Anggota IKAPI
Wylie,Todd. 2004.  Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free – living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences, University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and 3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic Acids Research, Vol. 32, Database issue



 BAB I
PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang

Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda. Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis. Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka (Muslim, 2009).
Diantara beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus terbesar  yang menimbulkan masalah  kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang kemudian mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto, 2008).
Akibat utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti cara-cara hidup sehat.

2.      Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Mengetahui klasifikasi Nematoda parasit usus
2.      Mengetahui hospes dan nama penyakit yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
3.      Mengetahui epidemiologi yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
4.      Mengetahui distribusi geografik Nematoda  parasit usus
5.      Mengetahui morfologi dan daur hidup dari Nematoda parasit usus
6.      Mengetahui patologi Nematoda parasit usus
7.      Mengetahui pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus

















BAB II
ISI

A.       Ascaris lumbricoides

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Class                : Nematoda
Subclass          : Secernemtea
Ordo                : Ascoridida
Super famili     : Ascoridciidea
Genus              : Ascaris
Species            : Ascaris lumbricoides

·         Morfologi

Cacing Ascaris berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
 Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia.  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
(Muslim, 2009).
Cacing ini telah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular, yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior 1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang melintang
·         Siklus Hidup

Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus -> Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan -> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.  Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim, 2009).
·         Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).

·         Epidemiologi
Prevalensi askariasis  di Indonesia tinggi, terutama yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%.  Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira 25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara – negara  tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).

·         Patologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1.    Fase perpindahan larva dari darah ke paru-paru.
Selama perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah, batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.

2.    Fase dewasa di usus
Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1.    Mencegah kontak dengan tanah yang mengandung feses manusia
2.    Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC yang baik.
3.    Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4.    Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah
5.    Cuci, kupas atau masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6.    Edukasi kesehatan melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7.    Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat dilakukan yaitu walaupun askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan (kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B.  Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Kelas               : Nematoda
Ordo                : Ascaridida
Superfamili      : Ascaridoidea
Genus              : Toxocara
Species            : Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10 cm dan Toxocara cati  jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk cacing ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing  (Soedarto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan  menelan telur infektif atau dengan memekan hospes paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.

·         Distribusi Geografik
Cacing – cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).

·         Patologi
Pada manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang mengembara tersebut disebut Visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga disebabkan oleh larva lain.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan seksama sayur lalapan.

C.  Necator americanus

·         Klasifikasi
Phylum                  : Nemathelminthes
Kelas                     : Nematoda
Subkelas                : Secernentea
Ordo                      : Strongiloidae
Superfamili            : Ancylostomatoidea
Genus                    : Necator / Ancylostoma
Species                  : Necator americanus
·         Morfologi
a.    Memiliki plat-plat pemotong sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b.    Jantan ukurannya 9 mm dan betina ukurannya11mm.
c.    Vulva, sedikit kearah anterior dari pertengahan tubuh.
d.   Tidak ada duri pada ujung ekor
·         Siklus Hidup
Telur – larva rabditiform – larva filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus halus

·         Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum (Prianto, 2006).
·         Epidemologi
                                  Tempat habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o - 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa. Necator americanus adalah spesies yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale  adalah species yag dominan di Lautan Tengah, Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto, 2008).

·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis atau pneumona.

·         Pencegahan dan Pengendalian
1.      Memutuskan daur hidup dengan cara
a.    Defikasi di jamban
b.    Menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c.    Menberi pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2.      Penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara menghindari infeksi cacing.



D.  Ancylostoma duodenale

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes 
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Secernemtea
Ordo                :           Rhabditida
Family             :           Rhabditoidea
Genus              :           Ancylostoma
Species            :           Ancylostoma duodenale

·         Morfologi

 

Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan. Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles), mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak 10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x 40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan.  Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).

·         Siklus Hidup







Siklus hidup pada Ancylostoma duodenale secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit -> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea -> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus. Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus. Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4 kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir; melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat terjadi (Susanto, 2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni sepatu dan sandal (Prianto, 2006).



·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·         Pencegahan dan pengendalian

Di dalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan lubang-lubang kakus.  Penerangan masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.

E.  Strongyloides stercoralis
·         Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum            :Nemathelminthes 
Class                :Nematoda
Subclass          :Adenophorea
Ordo                :Enoplida
Super famili     :Rhabiditoidea
Genus              :Strongyloides
Species            : Strongyloides stercoralis
·         Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk parasitik, sebesar  54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah  diberi pencahar yang kuat.
·         Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a.       Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke  paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b.      Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c.       Autoinfeksi
Larva  rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006 ).
·         Distribusi geografis dan Kondisi Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·         Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur, berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·         Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit,  timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan  Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada  strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah mungkin  ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·         Pecegahan dan pengendalian
a.    Pakailah alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b.    Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c.    Rawatlahpenderitayang sudahterkenapenyakittersebut
d.   Sanitasi pembuangan tinja
e.    Melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.     Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta pemakaian jamban.

Praktek-praktek kebersihan yang dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol (Klirgman, 2000).

F.   Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis/cacing kremi)

·         Klasifikasi
Phylum    : Nematoda
Class       :Secernentea
Ordo        :Strongylida
Famili      : Oxyuroidae
Genus      : Enterobius
Species     : Enterobius vermicularis
·         Morfologi
Cacing  dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae), posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher. Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris, sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik, salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·         Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas -> menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum bagian atas ileum. 
                        Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
                        Cacing betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
                        Infeksi cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
                        Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini biasanya  terjadi di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·         Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus  dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah, dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi  (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengobatan Enterobius efektif jika semua penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
            Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a.       Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari selama 8 hari
b.      Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c.       Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram
d.      Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e.       Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih dari satu kali
(Soedarto, 2008).

Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya :
·         Menjaga kebersihan diri sendiri
·         Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·         Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.

G. Trichuris trichiura

·         Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum            :  Nemathelminthes
Class                :  Nematoda
Subclass          :   Adenophorea
Ordo                :   Enoplida
Famili              :  Trichinelloidea
Genus              :  Trichuris
Species            :  Trichuris trichiura


·         Morfologi                                                       



Cacing Trichuris trichiura dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk  di Indonesia.
Sebuah survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·         Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H.  Trichinella spiralis

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Adenophorea
Ordo                :           Enoplida
Family             :           Trichinelloidea
Genus              :           Trichinella
Species            :           Trichinella spiralis
·         Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya 1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm.  Karakteristik tubuhnya adalah :
1.      ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat tanpa papil,
2.      ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3.      pada cacing betina ovariumnya tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan tumpul
4.      tidak mempunyai spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi.
5.      Cacing betina tidak mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak (Muslim,2009).




·         Siklus Hidup

Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris Trichinella spiralis hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk, berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus  bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk  ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap. ­­­­
·         Patologi
Selain kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf  pusat. Apabila penderita tidak segera diobati, kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen. Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan parasit,  peradangan ini disertai sembab. Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak  memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna kelabu yang tidak  menarik.
I.     Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
·         Klasifikasi
Phylum                : Nemathelminthes         
Kelas                    : Nematoda
Subkelas              : Secernentea
Ordo                    : Strongiloidae
Superfamili          : Ancylostomatoidea
Genus                  : Ancylostoma
·         Hospes dan Nama Penyakit
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·         Epidemiologi, Distribusi geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Susanto, 2008).
·         Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada  panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm. Sedangkan Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·         Siklus hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).

·         Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease, atau  cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras, merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali  dan bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim, 2009).
Di Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung, dan pantat.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.



BAB III
KESIMPULAN

Nematoda parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang  dapat melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan tertata, sarana jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1.      Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2.      Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing tambang, Strongyloides  stercoralis
3.      Telur infektif masuk melalui mulut, melalui udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4.      Larva infektif masuk mulut bersama daging yang dimakan :Trichinella spiralis.

Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit usus yaitu:
1.      Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan perforasi usus.
2.      Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1.      Mengobati penderita dan massa.
2.      Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.      Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.      Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.      Pembuatan MCK yang sehat dan teratur




DAFTAR PUSTAKA

A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean country. Eastern Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale: EMHJ • Vol. 16 No. 3

Klirgman, B. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Nugroho, Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta: Anggota IKAPI
Wylie,Todd. 2004.  Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free – living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences, University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and 3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic Acids Research, Vol. 32, Database issue



 BAB I
PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang

Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda. Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis. Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka (Muslim, 2009).
Diantara beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus terbesar  yang menimbulkan masalah  kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang kemudian mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto, 2008).
Akibat utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti cara-cara hidup sehat.

2.      Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Mengetahui klasifikasi Nematoda parasit usus
2.      Mengetahui hospes dan nama penyakit yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
3.      Mengetahui epidemiologi yang disebabkan oleh Nematoda parasit  usus
4.      Mengetahui distribusi geografik Nematoda  parasit usus
5.      Mengetahui morfologi dan daur hidup dari Nematoda parasit usus
6.      Mengetahui patologi Nematoda parasit usus
7.      Mengetahui pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus

















BAB II
ISI

A.       Ascaris lumbricoides

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Class                : Nematoda
Subclass          : Secernemtea
Ordo                : Ascoridida
Super famili     : Ascoridciidea
Genus              : Ascaris
Species            : Ascaris lumbricoides

·         Morfologi

Cacing Ascaris berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
 Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia.  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
(Muslim, 2009).
Cacing ini telah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular, yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior 1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang melintang
·         Siklus Hidup

Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus -> Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan -> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.  Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim, 2009).
·         Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).

·         Epidemiologi
Prevalensi askariasis  di Indonesia tinggi, terutama yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%.  Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira 25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara – negara  tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).

·         Patologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1.    Fase perpindahan larva dari darah ke paru-paru.
Selama perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah, batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.

2.    Fase dewasa di usus
Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1.    Mencegah kontak dengan tanah yang mengandung feses manusia
2.    Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC yang baik.
3.    Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4.    Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah
5.    Cuci, kupas atau masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6.    Edukasi kesehatan melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7.    Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat dilakukan yaitu walaupun askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan (kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B.  Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Klasifikasi
Phylum            : Nemathelminthes
Kelas               : Nematoda
Ordo                : Ascaridida
Superfamili      : Ascaridoidea
Genus              : Toxocara
Species            : Toxocara canis dan Toxocara cati

·         Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10 cm dan Toxocara cati  jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk cacing ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing  (Soedarto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan  menelan telur infektif atau dengan memekan hospes paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.

·         Distribusi Geografik
Cacing – cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).

·         Patologi
Pada manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang mengembara tersebut disebut Visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga disebabkan oleh larva lain.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan seksama sayur lalapan.

C.  Necator americanus

·         Klasifikasi
Phylum                  : Nemathelminthes
Kelas                     : Nematoda
Subkelas                : Secernentea
Ordo                      : Strongiloidae
Superfamili            : Ancylostomatoidea
Genus                    : Necator / Ancylostoma
Species                  : Necator americanus
·         Morfologi
a.    Memiliki plat-plat pemotong sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b.    Jantan ukurannya 9 mm dan betina ukurannya11mm.
c.    Vulva, sedikit kearah anterior dari pertengahan tubuh.
d.   Tidak ada duri pada ujung ekor
·         Siklus Hidup
Telur – larva rabditiform – larva filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus halus

·         Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum (Prianto, 2006).
·         Epidemologi
                                  Tempat habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o - 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa. Necator americanus adalah spesies yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale  adalah species yag dominan di Lautan Tengah, Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto, 2008).

·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis atau pneumona.

·         Pencegahan dan Pengendalian
1.      Memutuskan daur hidup dengan cara
a.    Defikasi di jamban
b.    Menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c.    Menberi pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2.      Penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara menghindari infeksi cacing.



D.  Ancylostoma duodenale

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes 
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Secernemtea
Ordo                :           Rhabditida
Family             :           Rhabditoidea
Genus              :           Ancylostoma
Species            :           Ancylostoma duodenale

·         Morfologi

 

Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan. Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles), mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak 10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x 40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan.  Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).

·         Siklus Hidup







Siklus hidup pada Ancylostoma duodenale secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit -> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea -> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus. Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus. Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4 kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir; melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat terjadi (Susanto, 2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni sepatu dan sandal (Prianto, 2006).



·         Patologi
Bila larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·         Pencegahan dan pengendalian

Di dalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan lubang-lubang kakus.  Penerangan masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.

E.  Strongyloides stercoralis
·         Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum            :Nemathelminthes 
Class                :Nematoda
Subclass          :Adenophorea
Ordo                :Enoplida
Super famili     :Rhabiditoidea
Genus              :Strongyloides
Species            : Strongyloides stercoralis
·         Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk parasitik, sebesar  54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah  diberi pencahar yang kuat.
·         Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a.       Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke  paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b.      Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c.       Autoinfeksi
Larva  rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006 ).
·         Distribusi geografis dan Kondisi Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·         Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur, berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·         Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit,  timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan  Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada  strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah mungkin  ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·         Pecegahan dan pengendalian
a.    Pakailah alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b.    Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c.    Rawatlahpenderitayang sudahterkenapenyakittersebut
d.   Sanitasi pembuangan tinja
e.    Melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.     Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta pemakaian jamban.

Praktek-praktek kebersihan yang dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol (Klirgman, 2000).

F.   Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis/cacing kremi)

·         Klasifikasi
Phylum    : Nematoda
Class       :Secernentea
Ordo        :Strongylida
Famili      : Oxyuroidae
Genus      : Enterobius
Species     : Enterobius vermicularis
·         Morfologi
Cacing  dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae), posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher. Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris, sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik, salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·         Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas -> menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum bagian atas ileum. 
                        Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
                        Cacing betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
                        Infeksi cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
                        Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini biasanya  terjadi di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·         Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus  dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah, dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi  (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengobatan Enterobius efektif jika semua penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
            Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a.       Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari selama 8 hari
b.      Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c.       Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram
d.      Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e.       Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih dari satu kali
(Soedarto, 2008).

Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya :
·         Menjaga kebersihan diri sendiri
·         Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·         Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.

G. Trichuris trichiura

·         Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum            :  Nemathelminthes
Class                :  Nematoda
Subclass          :   Adenophorea
Ordo                :   Enoplida
Famili              :  Trichinelloidea
Genus              :  Trichuris
Species            :  Trichuris trichiura


·         Morfologi                                                       



Cacing Trichuris trichiura dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·         Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·         Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk  di Indonesia.
Sebuah survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·         Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H.  Trichinella spiralis

·         Klasifikasi
Phylum            :           Nemathelminthes
Class                :           Nematoda
Subclass          :           Adenophorea
Ordo                :           Enoplida
Family             :           Trichinelloidea
Genus              :           Trichinella
Species            :           Trichinella spiralis
·         Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya 1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm.  Karakteristik tubuhnya adalah :
1.      ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat tanpa papil,
2.      ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3.      pada cacing betina ovariumnya tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan tumpul
4.      tidak mempunyai spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi.
5.      Cacing betina tidak mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak (Muslim,2009).




·         Siklus Hidup

Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris Trichinella spiralis hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk, berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus  bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk  ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).

·         Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap. ­­­­
·         Patologi
Selain kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf  pusat. Apabila penderita tidak segera diobati, kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen. Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan parasit,  peradangan ini disertai sembab. Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·         Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak  memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna kelabu yang tidak  menarik.
I.     Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
·         Klasifikasi
Phylum                : Nemathelminthes         
Kelas                    : Nematoda
Subkelas              : Secernentea
Ordo                    : Strongiloidae
Superfamili          : Ancylostomatoidea
Genus                  : Ancylostoma
·         Hospes dan Nama Penyakit
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·         Epidemiologi, Distribusi geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Susanto, 2008).
·         Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada  panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm. Sedangkan Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·         Siklus hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).

·         Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease, atau  cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras, merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali  dan bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim, 2009).
Di Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung, dan pantat.
·         Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.



BAB III
KESIMPULAN

Nematoda parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat  menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang  dapat melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan tertata, sarana jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1.      Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2.      Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing tambang, Strongyloides  stercoralis
3.      Telur infektif masuk melalui mulut, melalui udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4.      Larva infektif masuk mulut bersama daging yang dimakan :Trichinella spiralis.

Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit usus yaitu:
1.      Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan perforasi usus.
2.      Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1.      Mengobati penderita dan massa.
2.      Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.      Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.      Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.      Pembuatan MCK yang sehat dan teratur




DAFTAR PUSTAKA

A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean country. Eastern Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale: EMHJ • Vol. 16 No. 3

Klirgman, B. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Nugroho, Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta: Anggota IKAPI
Wylie,Todd. 2004.  Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free – living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences, University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and 3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic Acids Research, Vol. 32, Database issue



 irgman, B. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Nugroho, Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta: Anggota IKAPI
Wylie,Todd. 2004.  Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free – living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences, University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and 3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic Acids Research, Vol. 32, Database issue




0 komentar:

Posting Komentar