1.
Latar
Belakang
Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda.
Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut
dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome.
Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup
oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis.
Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah
tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari
kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini
hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies
cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina
memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka
sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan
pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka
(Muslim, 2009).
Diantara
beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan
masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi
manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus
terbesar yang menimbulkan masalah kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang
kemudian mengalami pemasakan di tanah dan
cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk
dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto,
2008).
Akibat
utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan
adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan
pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah
dengan meningkatkan
kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti
cara-cara hidup sehat.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui klasifikasi Nematoda
parasit usus
2. Mengetahui hospes dan nama penyakit
yang disebabkan oleh Nematoda parasit
usus
3. Mengetahui epidemiologi yang
disebabkan oleh Nematoda parasit usus
4. Mengetahui distribusi geografik
Nematoda parasit usus
5. Mengetahui morfologi dan daur hidup
dari Nematoda parasit usus
6. Mengetahui patologi Nematoda parasit
usus
7. Mengetahui pencegahan dan
pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus
BAB II
ISI
A.
Ascaris lumbricoides
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Super famili :
Ascoridciidea
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
·
Morfologi
Cacing
Ascaris berbentuk bulat panjang,
memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua
buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi
dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan
sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna
pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing
jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada
cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung
ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian
yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di
rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada
usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur
per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur
yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang
telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu 3 minggu
(Muslim,
2009).
Cacing ini telah
memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular,
yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua
buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior
1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang
melintang
·
Siklus Hidup
Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel
pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus ->
Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan
-> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes
definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air
tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi.
Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang
memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur
akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus,
bronkus,
trakea,
kemudian di laring.
Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna.
Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama
tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang
tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim,
2009).
·
Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di
Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau
lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun
1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah
dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan
melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun
1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).
·
Epidemiologi
Prevalensi
askariasis di Indonesia tinggi, terutama
yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%. Penyakit ini
dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik.
Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira
25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara –
negara tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat
baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C.
Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).
·
Patologi
Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat
berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1. Fase perpindahan
larva dari darah ke paru-paru.
Selama
perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah,
batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.
2. Fase dewasa di usus
Adanya sedikit
cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan
nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten
colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan
malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau
cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis
bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis
(Susanto, 2008).
·
Pencegahan
dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1. Mencegah kontak
dengan tanah yang mengandung feses manusia
2. Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC
yang baik.
3. Cuci tangan dengan
sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4. Ketika bepergian ke
negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin
berkontaminasi dengan tanah
5. Cuci, kupas atau
masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6. Edukasi kesehatan
melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7. Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai
pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat
dilakukan yaitu walaupun
askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada
pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan
(kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda
epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan
kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi
tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan
dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima
secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja
manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan
sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B. Toxocara
canis
dan Toxocara cati
·
Klasifikasi
Phylum :
Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis dan Toxocara cati
·
Morfologi
Toxocara canis jantan
mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara
5,7 – 10 cm dan Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina
antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk
cacing ini menyerupai Ascaris
lumbricoides muda. Pada Toxocara canis
terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar
sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies
hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang
sedang menunjuk (digitiform),
sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing
(Soedarto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memekan hospes
paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva
pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk
anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur
tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan
ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak
dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan
lebih lanjut.
·
Distribusi Geografik
Cacing
– cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di
Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).
·
Patologi
Pada
manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di
alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang
mengembara tersebut disebut Visceral
larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga
disebabkan oleh larva lain.
·
Pencegahan dan
pengendalian
Pengendalian
infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan
secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan
yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau
kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga
berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada
manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai
kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan
sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan
seksama sayur lalapan.
C. Necator
americanus
·
Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Necator / Ancylostoma
Species : Necator americanus
·
Morfologi
a. Memiliki plat-plat pemotong
sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b. Jantan ukurannya 9 mm dan
betina ukurannya11mm.
c. Vulva, sedikit kearah
anterior dari pertengahan tubuh.
d. Tidak ada duri pada ujung
ekor
·
Siklus
Hidup
Telur – larva rabditiform – larva
filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus –
trakea – laring – usus halus
·
Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan
di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di
Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada
anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum (Prianto, 2006).
·
Epidemologi
Tempat
habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator
americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o
- 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan
meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o
Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa.
Necator americanus adalah spesies
yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale adalah species yag dominan di Lautan Tengah,
Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang
di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak
7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto,
2008).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas.
Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak
dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan
meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi
melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis
atau pneumona.
·
Pencegahan dan
Pengendalian
1. Memutuskan
daur hidup dengan cara
a.
Defikasi di jamban
b.
Menjaga kebersihan,
cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c. Menberi
pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2. Penyuluhan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara
menghindari infeksi cacing.
D.
Ancylostoma
duodenale
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma
duodenale
·
Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam
mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan.
Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles),
mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor
berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak
10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x
40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada
yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan. Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak
berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang
badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital
premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya
adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva
terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Siklus
hidup pada Ancylostoma duodenale
secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit
-> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea
-> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami
daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat
beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron.
Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut
menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang
lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan
pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di
paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus.
Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui
kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa
yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus
halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus
halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi
aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding
tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan
kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus.
Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4
kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir;
melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat
terjadi (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi,
distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi
ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di
perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal
untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk
menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni
sepatu dan sandal (Prianto, 2006).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering
ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak
dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban
memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch”
atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui
par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau
pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis,
yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus
kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan
pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale
secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi
faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala
tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34
cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi
daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Di dalam masyarakat,
infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi
pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan
mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang
dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat
penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh
persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk
memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya
bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu
tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada
daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat
dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan
lubang-lubang kakus. Penerangan
masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan
pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.
E.
Strongyloides stercoralis
·
Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
·
Morfologi
Cacing dewasa
berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang
kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor
nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat
reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina
dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk
parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis
dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya
diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang
menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama
tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi
pencahar yang kuat.
·
Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a. Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari
di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif.
Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai
ke paru. Dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di
usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung,
larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina
bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik.
Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x
0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat
juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic
dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang
lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva
filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien
penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam
hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada
penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006 ).
·
Distribusi geografis dan Kondisi
Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah
beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini
kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis
atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi
penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat
di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·
Epidemiologi
Daerah yang panas,
kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing
Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur,
berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung
pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang
terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·
Patologi
Bila larva filariform dalam
jumlah besar menembus kulit, timbul
kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa
gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi
ringan dengan Strongyloides pada umumnya
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi
sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan
konstipasi saling bergantian. Pada
strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi.
Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di
seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam
(paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah
mungkin ditemukan eosinofilia atau
hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi
Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·
Pecegahan dan pengendalian
a. Pakailah
alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b. Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c. Rawatlahpenderitayang
sudahterkenapenyakittersebut
d. Sanitasi pembuangan
tinja
e. Melindungi kulit dari
tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan
cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Praktek-praktek kebersihan yang
dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan
cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi
dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi
imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol
(Klirgman, 2000).
F.
Enterobius vermicularis
(Oxyuris
vermicularis/cacing kremi)
·
Klasifikasi
Phylum : Nematoda
Class :Secernentea
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
·
Morfologi
Cacing dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae),
posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher.
Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris,
sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral
dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik,
salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·
Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas ->
menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum
bagian atas ileum.
Manusia
adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing
kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya
ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat
pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
Cacing
betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang
dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang
dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan
udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi
cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi
dan cacing betina mati setelah bertelur.
Infeksi
cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur
yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang
yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali
sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
Waktu
yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2
minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur
cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto,
2008).
·
Epidemiologi, Distribusi
geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara
kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan
subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada
panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling
luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya
hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini
biasanya terjadi di asrama, panti
asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi
cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau
oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun,
meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun
penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit
jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang
lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·
Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol
disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus
lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah
tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan
tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa
gejala infeksi Enterobius vermicularis
yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak,
penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah,
dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Muslim, 2009).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Pengobatan
Enterobius efektif jika semua
penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang
berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain
piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a. Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari
selama 8 hari
b. Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c. Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan
single dose, dan maksimum 1 gram
d. Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat
badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e. Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih
dari satu kali
(Soedarto, 2008).
Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu
maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat
dilakukan diantaranya :
·
Menjaga
kebersihan diri sendiri
·
Pakaian
dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·
Anak
yang mengandung Enterobius
vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur
supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah
perianal.
G. Trichuris trichiura
·
Klasifikasi
Klasifikasi
Trichuris trichiura
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
·
Morfologi
Cacing
Trichuris trichiura dewasa betina
panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai
45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan
(tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus
yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5
cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti
cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior
bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan
pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva
dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Faktor
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang
lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit),
termasuk di Indonesia.
Sebuah
survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum
terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak
pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·
Patologi
Cacing
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus,
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing
ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila
infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang
hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang
baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H. Trichinella spiralis
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
·
Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa
jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya
1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm. Karakteristik tubuhnya adalah :
1. ujung anterior langsing dengan mulut
kecil, bulat tanpa papil,
2. ujung posteriornya melengkung ke
ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3. pada cacing betina ovariumnya
tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan
tumpul
4. tidak mempunyai spikulum tepi, dan
tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu
kopulasi.
5. Cacing betina tidak mengelurkan
telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai
tombak (Muslim,2009).
·
Siklus Hidup
Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana
dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi
mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging
babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di
dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris
Trichinella
spiralis
hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva
terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging
karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana
larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan
omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses
hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di
dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat
pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan
peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma,
iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak
hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris
lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang
berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk,
berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi
bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista
dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian
dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus bagian proksimal
dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan
segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).
·
Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Cacing
ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di
daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis
pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak
hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan
tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan
tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan
sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa
daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi
trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang
diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan
sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai
tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari
lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang
mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan
oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira
60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam
daging yang diasin atau diasap.
·
Patologi
Selain
kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi
dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas
larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi
yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva
dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang
disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang
disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas
gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di
otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot
(mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema
muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot
dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala
lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis,
dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya
terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4
sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami
kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita tidak segera diobati,
kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan
hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen.
Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan
parasit, peradangan ini disertai sembab.
Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami
enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi
hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan
Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung
pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat
sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau
tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan
sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di
penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan,
memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging
babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan
sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat
harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak
daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna
kelabu yang tidak menarik.
I.
Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Ancylostoma
·
Hospes dan Nama Penyakit
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·
Epidemiologi, Distribusi
geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua
parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing
ditemukan 72% Ancylostoma braziliense,
sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya
(Susanto, 2008).
·
Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang
tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada
panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm.
Sedangkan Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan
cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·
Siklus hidup
Telur
dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva
filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir
dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).
·
Patologi
Pada
manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease, atau
cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan
serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma
caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras,
merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit
yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva
di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel –
vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim,
2009).
Di
Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping
eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama
ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung,
dan pantat.
·
Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan
klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di
bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.
BAB III
KESIMPULAN
Nematoda
parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan
hewan, karena manusia dan hewan dapat
menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan
masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang dapat
melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang
tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius
vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi
cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus
mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak
lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim
tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan
tertata, sarana
jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya
telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk
infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk
secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1. Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2. Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing
tambang, Strongyloides stercoralis
3. Telur infektif masuk melalui mulut, melalui
udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4. Larva infektif masuk mulut bersama daging yang
dimakan :Trichinella spiralis.
Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh
infeksi cacing parasit usus yaitu:
1. Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan
pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan
perforasi usus.
2. Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi
alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus
berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak
makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah
(untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan
mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2.
Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.
Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.
Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi
cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.
Pembuatan MCK yang sehat dan teratur
DAFTAR PUSTAKA
A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean
country. Eastern
Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale:
EMHJ • Vol. 16 No. 3
KlBAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda.
Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut
dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome.
Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup
oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis.
Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah
tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari
kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini
hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies
cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina
memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka
sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan
pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka
(Muslim, 2009).
Diantara
beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan
masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi
manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus
terbesar yang menimbulkan masalah kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang
kemudian mengalami pemasakan di tanah dan
cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk
dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto,
2008).
Akibat
utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan
adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan
pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah
dengan meningkatkan
kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti
cara-cara hidup sehat.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui klasifikasi Nematoda
parasit usus
2. Mengetahui hospes dan nama penyakit
yang disebabkan oleh Nematoda parasit
usus
3. Mengetahui epidemiologi yang
disebabkan oleh Nematoda parasit usus
4. Mengetahui distribusi geografik
Nematoda parasit usus
5. Mengetahui morfologi dan daur hidup
dari Nematoda parasit usus
6. Mengetahui patologi Nematoda parasit
usus
7. Mengetahui pencegahan dan
pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus
BAB II
ISI
A.
Ascaris lumbricoides
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Super famili :
Ascoridciidea
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
·
Morfologi
Cacing
Ascaris berbentuk bulat panjang,
memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua
buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi
dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan
sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna
pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing
jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada
cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung
ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian
yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di
rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada
usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur
per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur
yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang
telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu 3 minggu
(Muslim,
2009).
Cacing ini telah
memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular,
yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua
buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior
1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang
melintang
·
Siklus Hidup
Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel
pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus ->
Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan
-> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes
definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air
tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi.
Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang
memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur
akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus,
bronkus,
trakea,
kemudian di laring.
Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna.
Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama
tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang
tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim,
2009).
·
Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di
Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau
lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun
1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah
dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan
melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun
1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).
·
Epidemiologi
Prevalensi
askariasis di Indonesia tinggi, terutama
yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%. Penyakit ini
dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik.
Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira
25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara –
negara tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat
baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C.
Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).
·
Patologi
Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat
berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1. Fase perpindahan
larva dari darah ke paru-paru.
Selama
perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah,
batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.
2. Fase dewasa di usus
Adanya sedikit
cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan
nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten
colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan
malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau
cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis
bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis
(Susanto, 2008).
·
Pencegahan
dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1. Mencegah kontak
dengan tanah yang mengandung feses manusia
2. Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC
yang baik.
3. Cuci tangan dengan
sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4. Ketika bepergian ke
negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin
berkontaminasi dengan tanah
5. Cuci, kupas atau
masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6. Edukasi kesehatan
melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7. Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai
pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat
dilakukan yaitu walaupun
askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada
pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan
(kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda
epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan
kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi
tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan
dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima
secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja
manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan
sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B. Toxocara
canis
dan Toxocara cati
·
Klasifikasi
Phylum :
Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis dan Toxocara cati
·
Morfologi
Toxocara canis jantan
mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara
5,7 – 10 cm dan Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina
antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk
cacing ini menyerupai Ascaris
lumbricoides muda. Pada Toxocara canis
terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar
sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies
hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang
sedang menunjuk (digitiform),
sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing
(Soedarto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memekan hospes
paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva
pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk
anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur
tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan
ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak
dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan
lebih lanjut.
·
Distribusi Geografik
Cacing
– cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di
Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).
·
Patologi
Pada
manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di
alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang
mengembara tersebut disebut Visceral
larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga
disebabkan oleh larva lain.
·
Pencegahan dan
pengendalian
Pengendalian
infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan
secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan
yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau
kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga
berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada
manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai
kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan
sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan
seksama sayur lalapan.
C. Necator
americanus
·
Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Necator / Ancylostoma
Species : Necator americanus
·
Morfologi
a. Memiliki plat-plat pemotong
sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b. Jantan ukurannya 9 mm dan
betina ukurannya11mm.
c. Vulva, sedikit kearah
anterior dari pertengahan tubuh.
d. Tidak ada duri pada ujung
ekor
·
Siklus
Hidup
Telur – larva rabditiform – larva
filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus –
trakea – laring – usus halus
·
Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan
di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di
Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada
anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum (Prianto, 2006).
·
Epidemologi
Tempat
habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator
americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o
- 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan
meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o
Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa.
Necator americanus adalah spesies
yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale adalah species yag dominan di Lautan Tengah,
Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang
di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak
7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto,
2008).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas.
Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak
dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan
meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi
melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis
atau pneumona.
·
Pencegahan dan
Pengendalian
1. Memutuskan
daur hidup dengan cara
a.
Defikasi di jamban
b.
Menjaga kebersihan,
cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c. Menberi
pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2. Penyuluhan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara
menghindari infeksi cacing.
D.
Ancylostoma
duodenale
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
·
Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam
mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan.
Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles),
mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor
berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak
10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x
40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada
yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan. Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak
berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang
badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital
premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya
adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva
terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Siklus
hidup pada Ancylostoma duodenale
secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit
-> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea
-> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami
daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat
beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron.
Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut
menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang
lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan
pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di
paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus.
Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui
kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa
yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus
halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus
halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi
aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding
tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan
kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus.
Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4
kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir;
melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat
terjadi (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi,
distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi
ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di
perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal
untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk
menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni
sepatu dan sandal (Prianto, 2006).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering
ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak
dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban
memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch”
atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui
par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau
pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis,
yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus
kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan
pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale
secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi
faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala
tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34
cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi
daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Di dalam masyarakat,
infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi
pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan
mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang
dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat
penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh
persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk
memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya
bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu
tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada
daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat
dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan
lubang-lubang kakus. Penerangan
masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan
pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.
E.
Strongyloides stercoralis
·
Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
·
Morfologi
Cacing dewasa
berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang
kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor
nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat
reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina
dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk
parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis
dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya
diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang
menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama
tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi
pencahar yang kuat.
·
Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a. Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari
di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif.
Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai
ke paru. Dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di
usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung,
larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina
bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik.
Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x
0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat
juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic
dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang
lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva
filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien
penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam
hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada
penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006 ).
·
Distribusi geografis dan Kondisi
Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah
beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini
kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis
atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi
penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat
di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·
Epidemiologi
Daerah yang panas,
kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing
Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur,
berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung
pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang
terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·
Patologi
Bila larva filariform dalam
jumlah besar menembus kulit, timbul
kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa
gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi
ringan dengan Strongyloides pada umumnya
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi
sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan
konstipasi saling bergantian. Pada
strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi.
Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di
seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam
(paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah
mungkin ditemukan eosinofilia atau
hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi
Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·
Pecegahan dan pengendalian
a. Pakailah
alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b. Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c. Rawatlahpenderitayang
sudahterkenapenyakittersebut
d. Sanitasi pembuangan
tinja
e. Melindungi kulit dari
tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan
cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Praktek-praktek kebersihan yang
dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan
cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi
dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi
imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol
(Klirgman, 2000).
F.
Enterobius vermicularis
(Oxyuris
vermicularis/cacing kremi)
·
Klasifikasi
Phylum : Nematoda
Class :Secernentea
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
·
Morfologi
Cacing dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae),
posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher.
Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris,
sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral
dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik,
salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·
Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas ->
menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum
bagian atas ileum.
Manusia
adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing
kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya
ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat
pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
Cacing
betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang
dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang
dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan
udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi
cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi
dan cacing betina mati setelah bertelur.
Infeksi
cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur
yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang
yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali
sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
Waktu
yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2
minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur
cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto,
2008).
·
Epidemiologi, Distribusi
geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara
kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan
subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada
panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling
luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya
hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini
biasanya terjadi di asrama, panti
asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi
cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau
oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun,
meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun
penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit
jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang
lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·
Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol
disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus
lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah
tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan
tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa
gejala infeksi Enterobius vermicularis
yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak,
penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah,
dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Muslim, 2009).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Pengobatan
Enterobius efektif jika semua
penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang
berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain
piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a. Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari
selama 8 hari
b. Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c. Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan
single dose, dan maksimum 1 gram
d. Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat
badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e. Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih
dari satu kali
(Soedarto, 2008).
Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu
maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat
dilakukan diantaranya :
·
Menjaga
kebersihan diri sendiri
·
Pakaian
dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·
Anak
yang mengandung Enterobius
vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur
supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah
perianal.
G. Trichuris trichiura
·
Klasifikasi
Klasifikasi
Trichuris trichiura
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
·
Morfologi
Cacing
Trichuris trichiura dewasa betina
panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai
45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan
(tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus
yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5
cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti
cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior
bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan
pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva
dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Faktor
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang
lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit),
termasuk di Indonesia.
Sebuah
survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum
terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak
pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·
Patologi
Cacing
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus,
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing
ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila
infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang
hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang
baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H. Trichinella spiralis
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
·
Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa
jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya
1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm. Karakteristik tubuhnya adalah :
1. ujung anterior langsing dengan mulut
kecil, bulat tanpa papil,
2. ujung posteriornya melengkung ke
ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3. pada cacing betina ovariumnya
tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan
tumpul
4. tidak mempunyai spikulum tepi, dan
tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu
kopulasi.
5. Cacing betina tidak mengelurkan
telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai
tombak (Muslim,2009).
·
Siklus Hidup
Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana
dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi
mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging
babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di
dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris
Trichinella
spiralis
hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva
terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging
karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana
larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan
omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses
hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di
dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat
pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan
peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma,
iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak
hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris
lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang
berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk,
berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi
bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista
dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian
dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus bagian proksimal
dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan
segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).
·
Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Cacing
ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di
daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis
pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak
hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan
tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan
tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan
sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa
daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi
trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang
diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan
sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai
tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari
lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang
mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan
oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira
60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam
daging yang diasin atau diasap.
·
Patologi
Selain
kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi
dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas
larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi
yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva
dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang
disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang
disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas
gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di
otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot
(mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema
muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot
dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala
lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis,
dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya
terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4
sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami
kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita tidak segera diobati,
kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan
hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen.
Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan
parasit, peradangan ini disertai sembab.
Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami
enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi
hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan
Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung
pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat
sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau
tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan
sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di
penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan,
memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging
babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan
sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat
harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak
daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna
kelabu yang tidak menarik.
I.
Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Ancylostoma
·
Hospes dan Nama Penyakit
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·
Epidemiologi, Distribusi
geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua
parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing
ditemukan 72% Ancylostoma braziliense,
sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya
(Susanto, 2008).
·
Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang
tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada
panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm.
Sedangkan Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan
cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·
Siklus hidup
Telur
dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva
filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir
dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).
·
Patologi
Pada
manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease, atau
cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan
serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma
caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras,
merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit
yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva
di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel –
vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim,
2009).
Di
Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping
eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama
ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung,
dan pantat.
·
Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan
klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di
bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.
BAB III
KESIMPULAN
Nematoda
parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan
hewan, karena manusia dan hewan dapat
menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan
masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang dapat
melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang
tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius
vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi
cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus
mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak
lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim
tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan
tertata, sarana
jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya
telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk
infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk
secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1. Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2. Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing
tambang, Strongyloides stercoralis
3. Telur infektif masuk melalui mulut, melalui
udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4. Larva infektif masuk mulut bersama daging yang
dimakan :Trichinella spiralis.
Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh
infeksi cacing parasit usus yaitu:
1. Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan
pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan
perforasi usus.
2. Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi
alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus
berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak
makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah
(untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan
mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2.
Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.
Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.
Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi
cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.
Pembuatan MCK yang sehat dan teratur
DAFTAR PUSTAKA
A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean
country. Eastern
Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale:
EMHJ • Vol. 16 No. 3
Klirgman, B. Arvin.
2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan.
Jakarta: EGC
Nugroho,
Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi
Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung
makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia
Susanto, Inge, dkk.
2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta:
Anggota IKAPI
Wylie,Todd.
2004. Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free –
living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University
School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences,
University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and
3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic
Acids Research, Vol. 32, Database issue
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda.
Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut
dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome.
Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup
oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis.
Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah
tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari
kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini
hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies
cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina
memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka
sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan
pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka
(Muslim, 2009).
Diantara
beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan
masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi
manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus
terbesar yang menimbulkan masalah kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang
kemudian mengalami pemasakan di tanah dan
cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk
dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto,
2008).
Akibat
utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan
adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan
pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah
dengan meningkatkan
kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti
cara-cara hidup sehat.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui klasifikasi Nematoda
parasit usus
2. Mengetahui hospes dan nama penyakit
yang disebabkan oleh Nematoda parasit
usus
3. Mengetahui epidemiologi yang
disebabkan oleh Nematoda parasit usus
4. Mengetahui distribusi geografik
Nematoda parasit usus
5. Mengetahui morfologi dan daur hidup
dari Nematoda parasit usus
6. Mengetahui patologi Nematoda parasit
usus
7. Mengetahui pencegahan dan
pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus
BAB II
ISI
A.
Ascaris lumbricoides
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Super famili :
Ascoridciidea
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
·
Morfologi
Cacing
Ascaris berbentuk bulat panjang,
memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua
buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi
dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan
sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna
pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing
jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada
cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung
ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian
yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di
rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada
usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur
per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur
yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang
telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu 3 minggu
(Muslim,
2009).
Cacing ini telah
memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular,
yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua
buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior
1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang
melintang
·
Siklus Hidup
Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel
pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus ->
Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan
-> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes
definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air
tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi.
Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang
memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur
akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus,
bronkus,
trakea,
kemudian di laring.
Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna.
Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama
tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang
tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim,
2009).
·
Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di
Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau
lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun
1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah
dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan
melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun
1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).
·
Epidemiologi
Prevalensi
askariasis di Indonesia tinggi, terutama
yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%. Penyakit ini
dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik.
Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira
25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara –
negara tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat
baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C.
Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).
·
Patologi
Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat
berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1. Fase perpindahan
larva dari darah ke paru-paru.
Selama
perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah,
batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.
2. Fase dewasa di usus
Adanya sedikit
cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan
nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten
colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan
malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau
cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis
bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis
(Susanto, 2008).
·
Pencegahan
dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1. Mencegah kontak
dengan tanah yang mengandung feses manusia
2. Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC
yang baik.
3. Cuci tangan dengan
sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4. Ketika bepergian ke
negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin
berkontaminasi dengan tanah
5. Cuci, kupas atau
masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6. Edukasi kesehatan
melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7. Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai
pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat
dilakukan yaitu walaupun
askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada
pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan
(kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda
epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan
kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi
tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan
dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima
secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja
manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan
sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B. Toxocara
canis
dan Toxocara cati
·
Klasifikasi
Phylum :
Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis dan Toxocara cati
·
Morfologi
Toxocara canis jantan
mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara
5,7 – 10 cm dan Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina
antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk
cacing ini menyerupai Ascaris
lumbricoides muda. Pada Toxocara canis
terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar
sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies
hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang
sedang menunjuk (digitiform),
sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing
(Soedarto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memekan hospes
paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva
pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk
anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur
tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan
ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak
dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan
lebih lanjut.
·
Distribusi Geografik
Cacing
– cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di
Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).
·
Patologi
Pada
manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di
alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang
mengembara tersebut disebut Visceral
larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga
disebabkan oleh larva lain.
·
Pencegahan dan
pengendalian
Pengendalian
infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan
secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan
yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau
kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga
berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada
manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai
kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan
sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan
seksama sayur lalapan.
C. Necator
americanus
·
Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Necator / Ancylostoma
Species : Necator americanus
·
Morfologi
a. Memiliki plat-plat pemotong
sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b. Jantan ukurannya 9 mm dan
betina ukurannya11mm.
c. Vulva, sedikit kearah
anterior dari pertengahan tubuh.
d. Tidak ada duri pada ujung
ekor
·
Siklus
Hidup
Telur – larva rabditiform – larva
filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus –
trakea – laring – usus halus
·
Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan
di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di
Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada
anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum (Prianto, 2006).
·
Epidemologi
Tempat
habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator
americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o
- 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan
meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o
Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa.
Necator americanus adalah spesies
yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale adalah species yag dominan di Lautan Tengah,
Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang
di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak
7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto,
2008).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas.
Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak
dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan
meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi
melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis
atau pneumona.
·
Pencegahan dan
Pengendalian
1. Memutuskan
daur hidup dengan cara
a.
Defikasi di jamban
b.
Menjaga kebersihan,
cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c. Menberi
pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2. Penyuluhan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara
menghindari infeksi cacing.
D.
Ancylostoma
duodenale
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma
duodenale
·
Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam
mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan.
Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles),
mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor
berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak
10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x
40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada
yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan. Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak
berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang
badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital
premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya
adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva
terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Siklus
hidup pada Ancylostoma duodenale
secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit
-> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea
-> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami
daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat
beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron.
Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut
menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang
lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan
pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di
paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus.
Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui
kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa
yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus
halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus
halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi
aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding
tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan
kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus.
Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4
kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir;
melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat
terjadi (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi,
distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi
ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di
perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal
untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk
menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni
sepatu dan sandal (Prianto, 2006).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering
ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak
dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban
memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch”
atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui
par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau
pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis,
yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus
kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan
pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale
secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi
faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala
tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34
cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi
daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Di dalam masyarakat,
infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi
pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan
mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang
dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat
penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh
persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk
memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya
bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu
tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada
daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat
dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan
lubang-lubang kakus. Penerangan
masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan
pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.
E.
Strongyloides stercoralis
·
Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
·
Morfologi
Cacing dewasa
berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang
kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor
nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat
reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina
dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk
parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis
dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya
diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang
menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama
tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi
pencahar yang kuat.
·
Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a. Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari
di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif.
Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai
ke paru. Dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di
usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung,
larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina
bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik.
Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x
0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat
juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic
dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang
lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva
filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien
penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam
hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada
penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006 ).
·
Distribusi geografis dan Kondisi
Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah
beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini
kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis
atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi
penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat
di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·
Epidemiologi
Daerah yang panas,
kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing
Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur,
berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung
pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang
terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·
Patologi
Bila larva filariform dalam
jumlah besar menembus kulit, timbul
kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa
gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi
ringan dengan Strongyloides pada umumnya
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi
sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan
konstipasi saling bergantian. Pada
strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi.
Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di
seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam
(paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah
mungkin ditemukan eosinofilia atau
hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi
Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·
Pecegahan dan pengendalian
a. Pakailah
alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b. Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c. Rawatlahpenderitayang
sudahterkenapenyakittersebut
d. Sanitasi pembuangan
tinja
e. Melindungi kulit dari
tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan
cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Praktek-praktek kebersihan yang
dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan
cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi
dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi
imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol
(Klirgman, 2000).
F.
Enterobius vermicularis
(Oxyuris
vermicularis/cacing kremi)
·
Klasifikasi
Phylum : Nematoda
Class :Secernentea
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
·
Morfologi
Cacing dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae),
posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher.
Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris,
sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral
dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik,
salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·
Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas ->
menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum
bagian atas ileum.
Manusia
adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing
kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya
ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat
pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
Cacing
betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang
dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang
dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan
udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi
cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi
dan cacing betina mati setelah bertelur.
Infeksi
cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur
yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang
yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali
sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
Waktu
yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2
minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur
cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto,
2008).
·
Epidemiologi, Distribusi
geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara
kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan
subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada
panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling
luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya
hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini
biasanya terjadi di asrama, panti
asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi
cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau
oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun,
meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun
penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit
jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang
lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·
Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol
disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus
lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah
tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan
tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa
gejala infeksi Enterobius vermicularis
yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak,
penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah,
dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Muslim, 2009).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Pengobatan
Enterobius efektif jika semua
penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang
berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain
piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a. Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari
selama 8 hari
b. Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c. Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan
single dose, dan maksimum 1 gram
d. Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat
badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e. Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih
dari satu kali
(Soedarto, 2008).
Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu
maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat
dilakukan diantaranya :
·
Menjaga
kebersihan diri sendiri
·
Pakaian
dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·
Anak
yang mengandung Enterobius
vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur
supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah
perianal.
G. Trichuris trichiura
·
Klasifikasi
Klasifikasi
Trichuris trichiura
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
·
Morfologi
Cacing
Trichuris trichiura dewasa betina
panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai
45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan
(tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus
yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5
cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti
cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior
bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan
pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva
dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Faktor
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang
lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit),
termasuk di Indonesia.
Sebuah
survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum
terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak
pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·
Patologi
Cacing
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus,
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing
ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila
infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang
hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang
baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H. Trichinella spiralis
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
·
Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa
jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya
1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm. Karakteristik tubuhnya adalah :
1. ujung anterior langsing dengan mulut
kecil, bulat tanpa papil,
2. ujung posteriornya melengkung ke
ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3. pada cacing betina ovariumnya
tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan
tumpul
4. tidak mempunyai spikulum tepi, dan
tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu
kopulasi.
5. Cacing betina tidak mengelurkan
telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai
tombak (Muslim,2009).
·
Siklus Hidup
Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana
dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi
mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging
babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di
dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris
Trichinella
spiralis
hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva
terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging
karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana
larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan
omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses
hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di
dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat
pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan
peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma,
iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak
hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris
lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang
berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk,
berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi
bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista
dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian
dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus bagian proksimal
dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan
segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).
·
Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Cacing
ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di
daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis
pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak
hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan
tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan
tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan
sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa
daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi
trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang
diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan
sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai
tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari
lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang
mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan
oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira
60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam
daging yang diasin atau diasap.
·
Patologi
Selain
kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi
dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas
larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi
yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva
dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang
disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang
disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas
gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di
otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot
(mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema
muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot
dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala
lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis,
dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya
terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4
sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami
kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita tidak segera diobati,
kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan
hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen.
Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan
parasit, peradangan ini disertai sembab.
Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami
enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi
hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan
Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung
pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat
sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau
tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan
sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di
penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan,
memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging
babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan
sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat
harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak
daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna
kelabu yang tidak menarik.
I.
Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Ancylostoma
·
Hospes dan Nama Penyakit
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·
Epidemiologi, Distribusi
geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua
parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing
ditemukan 72% Ancylostoma braziliense,
sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya
(Susanto, 2008).
·
Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang
tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada
panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm.
Sedangkan Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan
cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·
Siklus hidup
Telur
dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva
filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir
dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).
·
Patologi
Pada
manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease, atau
cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan
serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma
caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras,
merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit
yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva
di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel –
vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim,
2009).
Di
Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping
eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama
ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung,
dan pantat.
·
Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan
klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di
bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.
BAB III
KESIMPULAN
Nematoda
parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan
hewan, karena manusia dan hewan dapat
menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan
masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang dapat
melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang
tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius
vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi
cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus
mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak
lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim
tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan
tertata, sarana
jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya
telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk
infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk
secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1. Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2. Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing
tambang, Strongyloides stercoralis
3. Telur infektif masuk melalui mulut, melalui
udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4. Larva infektif masuk mulut bersama daging yang
dimakan :Trichinella spiralis.
Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh
infeksi cacing parasit usus yaitu:
1. Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan
pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan
perforasi usus.
2. Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi
alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus
berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak
makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah
(untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan
mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2.
Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.
Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.
Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi
cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.
Pembuatan MCK yang sehat dan teratur
DAFTAR PUSTAKA
A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean
country. Eastern
Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale:
EMHJ • Vol. 16 No. 3
Klirgman, B. Arvin.
2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan.
Jakarta: EGC
Nugroho,
Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi
Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung
makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia
Susanto, Inge, dkk.
2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta:
Anggota IKAPI
Wylie,Todd.
2004. Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free –
living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University
School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences,
University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and
3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic
Acids Research, Vol. 32, Database issue
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Nematoda merupakan anggota dari filum Nematoda.
Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut
dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoselome.
Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutup
oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel, langsung di bawah hypodermis.
Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit dan dari beberapa spesies yang ada, yang banyak ditemukan di daerah
tropis dan tersebar di seluruh dunia. Nematoda usus merupakan salah satu dari
kelompok nematoda yang dibagi menurut tempat tinggal cacing dewasa. Cacing ini
hidup bebas di air tawar, laut serta lumpur dan perkebunan. Seluruh spesies
cacing ini berbentuk memanjang, silindris, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral. Nematoda usus mempunyai sistem pencernaan dan reproduksi. Cacing betina
memiliki bentuk lebih panjang dari pada cacing jantan dan tidak memiliki kloaka
sebab alat kelamin betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Sedangkan
pada cacing jantan memiliki ekor membengkok ke depan dan memiliki kloaka
(Muslim, 2009).
Diantara
beberapa jenis cacing atau sebagian besar dari cacing usus ini menyebabkan
masalah bagi kesehatan. Dari beberapa nematoda usus ini mampu menginfeksi
manusia dan hewan, karena manusia dan hewan dapat menjadi hospesnya. Salah satu nematoda usus
terbesar yang menimbulkan masalah kesehatan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang sering menginfeksi manusia lewat telur yang
kemudian mengalami pemasakan di tanah dan
cara penularannya melalui tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut masuk
dalam golongan sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut soil-transmitted helminthes (Soedarto,
2008).
Akibat
utama yang ditimbulkan cacing usus apabila menginfeksi manusia atau hewan
adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan
pendarahan di usus. Semua kejadian dimana cacing dapat menginfeksi dicegah
dengan meningkatkan
kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, serta mengerti
cara-cara hidup sehat.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui klasifikasi Nematoda
parasit usus
2. Mengetahui hospes dan nama penyakit
yang disebabkan oleh Nematoda parasit
usus
3. Mengetahui epidemiologi yang
disebabkan oleh Nematoda parasit usus
4. Mengetahui distribusi geografik
Nematoda parasit usus
5. Mengetahui morfologi dan daur hidup
dari Nematoda parasit usus
6. Mengetahui patologi Nematoda parasit
usus
7. Mengetahui pencegahan dan
pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Nematode parasit usus
BAB II
ISI
A.
Ascaris lumbricoides
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Super famili :
Ascoridciidea
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
·
Morfologi
Cacing
Ascaris berbentuk bulat panjang,
memiliki kutikula yang tebal serta tiga buah bibir pada bagian mulutnya. Dua
buah bibirnya terletak pada bagian dorsal. Masing-masing bibir dilengkapi
dengan papillae dibagian lateral dan subventral dan dilengkapi pula dengan
sederetan gigi pada permukaan sebelah dalam.
Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna
pink, yang jantan lebih kecil dari betina. Cacing
jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada
cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung
ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian
yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Stadium dewasa cacing ini hidup di
rongga usus muda. Cacing dewasa hidup pada
usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur
per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur
yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang
telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu 3 minggu
(Muslim,
2009).
Cacing ini telah
memiliki saluran pencernaan yang lengkap, organ reproduksi berbentuk tubular,
yang jantan mempunyai tubula reproduktif tunggal, yang betina mempunyai dua
buah tubula reproduktif dan vulva secara ventral terdapat pada bagian posterior
1/3 bagian anterior tubuh.
Penampang
melintang
·
Siklus Hidup
Usus manusia -> Cacing -> Telur Cacing -> Keluar bersama feses -> Tersebar -> Menempel
pada makanan -> Termakan -> Menetas -> Larva -> Menembus Usus ->
Aliran Darah -> Jantung -> Paru-Paru -> Kerongkongan -> Tertelan
-> Usus Manusia -> Cacing Dewasa.
Hospes
definitifnya adalah manusia. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air
tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi.
Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang
memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur
akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus,
bronkus,
trakea,
kemudian di laring.
Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna.
Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama
tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang
tinjanya tidak pada tempatnya
(Muslim,
2009).
·
Distribusi geografik
Parasit ini disebutkan kosmopolit,survey yang dilakukan di
Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau
lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun
1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah
dilakukakn pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan
melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Pravelensi ascaris sebesar 16,8% dibeberapa sekolah dijakarta timur pada tahun
1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Nugroho, 2010).
·
Epidemiologi
Prevalensi
askariasis di Indonesia tinggi, terutama
yang terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%. Penyakit ini
dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik.
Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kirra – kira
25 % dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara –
negara tropis. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat
baik pada tanah liat yang memiliki kelembapan tinggi dan pada suhu 25° - 30° C.
Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu (Galzerano, 2010).
·
Patologi
Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan cacing dewasa dan larva, biasanya terjadi pada saat
berada diparu-paru. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gtangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Galzerano, 2010).
Ada dua fase ascariasis
1. Fase perpindahan
larva dari darah ke paru-paru.
Selama
perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam rendah,
batuk, ada sedikit darah di sputum, asma serta pada sejumlah besar wanita mengikat reaksi alergi.
2. Fase dewasa di usus
Adanya sedikit
cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan
nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten
colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan
malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau
cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis
bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis
(Susanto, 2008).
·
Pencegahan
dan Pengendalian
Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari terkena infeksi cacing Ascaris lumbricoides antara lain :
1. Mencegah kontak
dengan tanah yang mengandung feses manusia
2. Hendaknya membuang tinja (feces) pada WC
yang baik.
3. Cuci tangan dengan
sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4. Ketika bepergian ke
negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin
berkontaminasi dengan tanah
5. Cuci, kupas atau
masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6. Edukasi kesehatan
melalui sekolah , organisasi kemasyarakatan.
7. Hendaknya tidak menggunakan feces sebagai
pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Selain itu upaya pengendalian yang dpat
dilakukan yaitu walaupun
askariasis merupakan infeksi cacing yang paling lazim di seluruh dunia, pada
pengendaliannya hanya mendapat sedikit perhatian, sebagian karena perdebatan
(kontroversi) mengenai arti klinisnya dan juga karena tanda
epidemiologisnya yang unik. Upaya pengurangan beban cacing pada manusia dengan
kemoterapi massa telah menunjukkan beberapa harapan. Karena frekuensi reinfeksi
tinggi, kemoterapi harus diulang pada interval 3 sampai 6 bulan. Kemungkinan
dan tanggungan biaya demikian akan harus dievaluasi sebelum hal ini dapat diterima
secara luas. Praktek-praktek sanitasi yang diarahkan pada pengobatan tinja
manusia sebelum ia digunakan sebagai pupuk dan menyediakan fasilitas pembuangan
sampah mungkin merupakan cara-cara pencegahan askariasis yang paling efektif.
B. Toxocara
canis
dan Toxocara cati
·
Klasifikasi
Phylum :
Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis dan Toxocara cati
·
Morfologi
Toxocara canis jantan
mempunyai panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara
5,7 – 10 cm dan Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, sedangkan betina
antara 2,5 – 14 cm.
Bentuk
cacing ini menyerupai Ascaris
lumbricoides muda. Pada Toxocara canis
terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebar
sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies
hampir sama, yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang
sedang menunjuk (digitiform),
sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing
(Soedarto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memekan hospes
paratenik yang timbul di tanah seperti cacing tanah, semut. Penularan larva
pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk
anjing yang terinfeksi atau melalui air susu induk kucing terinfeksi. Telur
tertelan manusia (Hospes Paratenik) kemudian larva menembus dinding usus dan
ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru-paru, otak
dan mata). Di dalam tubuh manusia larva tersebut tidak mengalami perkembangan
lebih lanjut.
·
Distribusi Geografik
Cacing
– cacing ini tersebar secara kosmopolit yang juga ditemukan di Indonesia. Di
Jakarta pravalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Prianto, 2006).
·
Patologi
Pada
manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa hanya larva tersebut mengembara di
alat – alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan oleh larva yang
mengembara tersebut disebut Visceral
larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam, dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga
disebabkan oleh larva lain.
·
Pencegahan dan
pengendalian
Pengendalian
infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucig peliharaan
secara sembarang terutama tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran. Hewan
yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau intermectin. Anak anjing atau
kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, setiap dua minggu hingga
berusia satu tahun. Anjing atau kucing dewasa diobati setiap 6 bulan.
Pada
manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang mempunyai
kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan
sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan membersihkan dengan
seksama sayur lalapan.
C. Necator
americanus
·
Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Necator / Ancylostoma
Species : Necator americanus
·
Morfologi
a. Memiliki plat-plat pemotong
sentral besar serta licin dan semilunar bentuknya sepanjang pinggir bebas.
b. Jantan ukurannya 9 mm dan
betina ukurannya11mm.
c. Vulva, sedikit kearah
anterior dari pertengahan tubuh.
d. Tidak ada duri pada ujung
ekor
·
Siklus
Hidup
Telur – larva rabditiform – larva
filriform menembus kulit – kapiler darah – jantung kanan – paru – bronkus –
trakea – laring – usus halus
·
Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan
di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di
Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada
anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum (Prianto, 2006).
·
Epidemologi
Tempat
habitat yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator
americanus 28o - 30oC, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o
- 32oC). Penyebaran parasit ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan
meluas ke daerah tropic dan subtropik diantara garis lintang 45o
Utara dan 30o Selatan, di daerah pertambangan di bagian Utara Eropa.
Necator americanus adalah spesies
yang terdapat di Belahan Dunia Barat dan kepulauan pasifik. Ancylostoma duodenale adalah species yag dominan di Lautan Tengah,
Asia Utara dan pantai Barat Amerika Selatan. Diperkiraka bahwa cacing tambang
di seluruh dunia menghinggapi 700 orang yang menyebabkan kehilangan darah sebanyak
7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia (Soedarto,
2008).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuknya maculopapula dan eritem yang terbatas.
Sering ada rasa gatal yang hebat, dan arena rasa gatal itu berhubungan kontak
dengan tanah terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembapan
meungkinkan larva untuk tinggal dipermukaan tanah, maka disebut “ground itch” atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi
melalui paru-paru atau orang-orang yang telah peka, maka dimungkinkan timbul bronchitis
atau pneumona.
·
Pencegahan dan
Pengendalian
1. Memutuskan
daur hidup dengan cara
a.
Defikasi di jamban
b.
Menjaga kebersihan,
cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur.
c. Menberi
pengobatan masal obat antelmik yang efektif, terutama kepada golongan rawan.
2. Penyuluhan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dengan cara
menghindari infeksi cacing.
D.
Ancylostoma
duodenale
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Rhabditida
Family : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma
duodenale
·
Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk badan seperti huruf C. Dalam
mulut terdapat 2 pasang gigi sama besar. Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus. Cacing dewasa berbentuk silinder/selindrik berwarna putih keabuan.
Cacing jantan berukuran 5-11 mm, dengan ekor melebar (bursakopulatriles),
mempunyai dua spikula. Sedangakan cacing betina berukuran 9-13 mm, ekor
berbentuk lancip, dan memiliki kemampuannya untuk bertelur sebanyak
10.000-25.000 butir/hari. Telurnya berbentuk lonjong/bujur , berukuran ± 60 x
40 mikron. Cacing ini memiliki kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada
yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan. Ia emiliki dinding yang tipis, bening, tidak
berwarna dan memiliki oesophagus yang mempunyai bulbus (rhabditoid) 1/3 panjang
badan, memiliki mulut yang terbuka, panjang dan sempit, dan memiliki genital
premordial kecil. Perbedaan morfologi cacing ini dengan berbnagai spesies lainnya
adalah bentuknya yakni rongga mulutnya dan bursanya pada yang jantan. Vulva
terletak posterior dan mempunyai dua pasang gigi ventral (Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Siklus
hidup pada Ancylostoma duodenale
secara singkat adalah sebagai berikut :
Telur -> Larva rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit
-> kapiler darah -> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea
-> laring -> usus halus.
Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja akan mengalami
daur hidup sebagai berikut :
Telur cacing tambang besarnya kira2 60x40 mikron , berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalam telur cacing tambang terdapat
beberapa sel larva rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron.
Setelah keluar brsama tinja maka setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut
menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yg dapat menembus kulit manusia. Larva filariform
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva filriform panjangnya kurang
lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut bersama aliran darah dan
pembuluh getah bening. Menuju ke jantung dan dilanjutkan ke paru-paru. Di
paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring . Dari laring , larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus.
Peristiwa ini disebut infeksi aktif. Sekitar satu minggu setelah masuk melalui
kulit, larva akan sampai di usus dan di dalam usus larva menjadi cacing dewasa
yg akan menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus
halus bagian atas dan mengisap darah kembali. Cacing betina bertelur di usus
halus dan telur akan keluar bersama dengan feses. Selain dengan cara infeksi
aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding
tebal) tertelan bersama makanan. Infestasi melalui mulut, larva akan tertelan
kemudian masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus.
Kemudian larva kembali ke lumen usus, berkembang menjadi larva stadium 4
kemudian dewasa dalam usus halus. Selain itu infeksi prenatal (sebelum lahir;
melalui uterus/plasenta) dan trans mammalia (melalui susu induk) juga dapat
terjadi (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi,
distribusi geografis, dan keadaan penyakit terkini
Insiden tinggi
ditemukan pada penduduk di Indonesia terutama di pedesaan khususnya di
perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung behubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defeksi dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimal
untuk N.americanus 28°-32° C, sedangkan untuk A.duodenale 23°-25° C. Untuk
menghindari infeksi salah satu antara lain, dengan memakai alas kaki yakni
sepatu dan sandal (Prianto, 2006).
·
Patologi
Bila
larva menembus kulit, terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas. Sering
ada rasa gatal yang hebat, dan karena rasa gatal itu berhubungan dengan kontak
dengan tanah, terutama pada pagi hari yang berembun, sehingga kelembaban
memungkinkan larva untuk tinggal di permukaan tanah, maka disebut “ground itch”
atau “dew itch”. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui
par-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau
pneumonitis. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis,
yaitu: pada stadium larva yakni bila banyak larva filariform sekaligus menembus
kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan
pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale
secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi
faring, batuk, sakit leher dan serak. Sedangakn stadium dewasa yakni gejala
tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34
cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi
daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarto, 2008).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Di dalam masyarakat,
infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : (1) sanitasi
pembuangan tinja, (2) melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi, dan
mengobati orang-orang yang mengandung parasit.
Dipandang
dari sudut praktis pengobatan orang-orang yang menunjukkan gejala klinis sangat
penting. Pengobatan masal dianjurkan bila frekuensinya melebihi lima puluh
persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor, dan bila fasilitas untuk
memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Sifat pengobatan masal hanya
bersifat sementara, maka harus dilakukan pengobatan ulang pada waktu-waktu
tertentu dengan disertai perbaikan sanitasi.
Pada
daerah-daerah di luar kota, bila sistem pengaliran air, selokan tidak dapat
dialaksanakan, defekasi di sembarang tempat dapat dikurangi dengan pembuatan
lubang-lubang kakus. Penerangan
masyarakat mengenai cara penularan cara pemakaian kakus sama pentingnya dengan
pembuatan-pembuatan kakus-kakus tersebut.
E.
Strongyloides stercoralis
·
Klasifikasi Strongyloides stercoralis
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
·
Morfologi
Cacing dewasa
berbentuk seperti benang halus tidak berwarna. Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah nematoda filariform yang
kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum, menyerupai seekor
nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat
reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina
dan mempunyai ekor melingkar (Soedarto, 2008).
Telur dari bentuk
parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis
dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya
diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang
menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama
tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi
pencahar yang kuat.
·
Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga siklus hidup:
a. Siklus langsung
Sesudah 2 sampai tiga hari
di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif.
Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai
ke paru. Dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di
usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi (Soedarto, 2008).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung,
larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina
bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik.
Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x
0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersenut dapat
juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negerinegeri tropic
dengan iklim lemabab. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang
lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva
filariform di usus atau daerah sekitar anus (perianal), misalnya pada pasien
penderita obstipasi dan pada pasien penderita diare. Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam
hospes Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada
penderita yang hidup di daerah non endemik (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006 ).
·
Distribusi geografis dan Kondisi
Penyebaran terkini
Infeksi S. Stercoralis tersebar luas di seluruh daerah tropis dan daerah
beriklim sedang, jarang ditemui di daerah beriklim dinginmeskipun infeksi ini
kurang lazim daripada infeksi oleh cacing kremi usus lain.
Tersebar di daerah beriklim tropis
atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi
penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.fulleborni dilaporkan hanya terdapat
di Afrika dan Papua New Guinea (Prianto, 2006).
·
Epidemiologi
Daerah yang panas,
kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang, sanagt menguntungkan cacing
Strongyloides.Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva yaitu, tanah gembur,
berpasir dan humus.Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956, sekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan.Pencegahan yang disebabkan cacing ini, tergantung
pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang
terkontanimasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
·
Patologi
Bila larva filariform dalam
jumlah besar menembus kulit, timbul
kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa
gatal yang hebat.Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi
ringan dengan Strongyloides pada umumnya
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi
sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, dan muntah, diare dan
konstipasi saling bergantian. Pada
strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi.
Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di
seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam
(paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.Pada pemriksaan darah
mungkin ditemukan eosinofilia atau
hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Srisasi
Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
·
Pecegahan dan pengendalian
a. Pakailah
alat-alatyang menyehatkanuntukpembuangankotoranmanusia.
b. Pakailahsepatuwaktubekerjadikebun.
c. Rawatlahpenderitayang
sudahterkenapenyakittersebut
d. Sanitasi pembuangan
tinja
e. Melindungi kulit dari
tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki
f.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan
cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Praktek-praktek kebersihan yang
dirancang untuk mencegah penularan dari tanah dan dari orang-ke-orang merupakan
cara-cara pengendalian yang paling efektif. Karena infeksi tidak lazim, deteksi
dan pengobatan kasus dianjurkan. Individu yang akan merupakan sasaran terapi
imunosupresi harus mengalami pemeriksaanskrining untuk S. stercoralis dan, jika terinfeksi, diobati dengan tiabendazol
(Klirgman, 2000).
F.
Enterobius vermicularis
(Oxyuris
vermicularis/cacing kremi)
·
Klasifikasi
Phylum : Nematoda
Class :Secernentea
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Ordo :Strongylida
Famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
·
Morfologi
Cacing dewasa memiliki kutikula yang melebar (alae),
posterior lebih tebal dan memiliki bulbus esofagus ganda pada anterior leher.
Cacing betina berukuran 8-13 x 0,3-0,5 mm, ekornya lancip seperti keris,
sedangkan jantan berukuran 2-5 x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar ke arah ventral
dan tampak adanya spekulum. Telur berukuran 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetrik,
salah satu dinding datar, dinding telur jernih dan tipis (Muslim, 2009).
·
Siklus hidup
Telur -> tertelan -> melalui jalan napas ->
menetas di duodenum -> larva rabditiform -> Cacing dewasa di jejunum
bagian atas ileum.
Manusia
adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing
kremi dewasa biasanya adalah coecum dan bagan usus besar serta usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa biasanya
ditemukan di rektum dan bagian distal colon. Kadang-kadang cacing ini dapat
pindah ke atas samapi lambung, oesophagus dan hidung.
Cacing
betina mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontradiksi uterus dan vaginanya. Telur jarang
dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang
dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan
udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi
cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacaing jantan mati setelah kopulasi
dan cacing betina mati setelah bertelur.
Infeksi
cacing kremi terjadi apabila menelan telur matang atau bila larva dari telur
yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang
yang tertelan akan menetas di deudonum dan larva rabditiform berubah dua kali
sebelum menjadi dewasa di jejenum dan bagian atas ileum. (Susanto, 2008).
Waktu
yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2
minggu sampai 2 bulan. Daur hidupnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur
cacing ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Sutanto,
2008).
·
Epidemiologi, Distribusi
geografis dan kondisi penyakit terkini
Secara
kosmopolit, cacing kremi ini hidup di daerah yang beriklim tropis dan
subtropis. Namun, lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada
panas. Udara yang dingin, lembab, dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan telur. Cacing kremi mempunyai penyebaran yang paling
luas di dunia dari semua jenis cacing, hal tersebut disebabakan karena adanya
hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan. Tempat penyebaran cacing ini
biasanya terjadi di asrama, panti
asuhan, barak, dan sebagainya (Muslim, 2009).
Infeksi
cacing enterobius vermicularis disebut juga enterobiasis atau
oksiuriasis. Biasanya cacing ini menginfeksi anak-anak yang berumur 5-14 tahun,
meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Selain itu meskipun
penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit
jiwa, anak panti asuhan, tak jarang juga orang-orang dari golongan ekonomi yang
lebih mapan juga dapat terinfeksi.
·
Patologi
Enterobious vermicularis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang menonjol
disebabkan iritasi di sekitar anus, preneum dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus
lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di dearah
tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan
tuba fallopi sehingga menyebabaka radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabakan apendisitis (Susanto, 2008).
Beberapa
gejala infeksi Enterobius vermicularis
yaitu gangguan tidur dan lemah, mimpi buruk, enuresis, gigi menggertak,
penurunan nafsu makan, cepat tersinggung, dan marah. Terjadi insomia, gelisah,
dan berakhir dengan melakukan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Muslim, 2009).
·
Pencegahan
dan pengendalian
Pengobatan
Enterobius efektif jika semua
penghuni rumah juga di obati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang
berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang di gunakan antara lain
piperazin, pirvinum, tiabendazol dan stilbazium iodida (Prianto, 2006).
Pengobatan Enterobius adalah sebagai berikut :
a. Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 gram/hari
selama 8 hari
b. Pirivinum pamoat, diberikan dengan dosis 5mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan di ulangi 2 minggu kemudian
c. Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan
single dose, dan maksimum 1 gram
d. Stilbazium iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat
badan. Warna tinja akan menjadi merah karena mengonsumsi obat ini.
e. Albendazol, dengan dosis tunggal 400 mg dan diberikan lebih
dari satu kali
(Soedarto, 2008).
Penularan Enterobius dapat melalui tangan, debu
maupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat
dilakukan diantaranya :
·
Menjaga
kebersihan diri sendiri
·
Pakaian
dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
·
Anak
yang mengandung Enterobius
vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur
supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah
perianal.
G. Trichuris trichiura
·
Klasifikasi
Klasifikasi
Trichuris trichiura
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
·
Morfologi
Cacing
Trichuris trichiura dewasa betina
panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai
45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan
(tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus
yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5
cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti
cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior
bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan
pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih ( Susanto, 2008).
·
Siklus Hidup
Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva
dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Susanto, 2008).
·
Epidemiologi, Distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Faktor
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90% (Prianto, 2006).
Distribusi Geografis Cacing Trichuris trichiura tersebar luas di daerah beriklim tropis yang
lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit),
termasuk di Indonesia.
Sebuah
survei yang diadakan WHO, 1 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura). Ini belum
terhitung jenis cacing yang lain. Semua umur bisa terkena cacingan, terbanyak
pada usia sekolah dasar yaitu 5-14 tahun (Muslim, 2009).
·
Patologi
Cacing
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus,
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing
ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila
infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Muslim, 2009).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang
hygiene dan sanitasi kepada masyarakat.Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang
baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
H. Trichinella spiralis
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
·
Morfologi
Cacing ini dalam bentuk dewasa
jarang terlihat karena sangat halus menyerupai rambut. Cacing jantan panjangnya
1.50 mm kali 0.04 mm, Dan yang betina 3.50 mm kali 0.06 mm. Karakteristik tubuhnya adalah :
1. ujung anterior langsing dengan mulut
kecil, bulat tanpa papil,
2. ujung posteriornya melengkung ke
ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus sebagai umbai-umbai ekornya,
3. pada cacing betina ovariumnya
tunggal dengan vulva di bagian seperlima antrior, dan posteriornya membulat dan
tumpul
4. tidak mempunyai spikulum tepi, dan
tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu
kopulasi.
5. Cacing betina tidak mengelurkan
telur tetapi mengelurakan larva. Sedangkan panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai
tombak (Muslim,2009).
·
Siklus Hidup
Siklus hidup Trichinella spiralis secara sederhana
dapat dituliskan sebagai berikut :
Siklus hidup alami yang terjadi antara babi dan tikus -> babi
mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi olh karena makan daging
babi atau mamamlia lain yang mengandung kista -> cacing dewasa hidup di
dalam dinding usus -> larva membentuk kista di dalam otot bergaris
Trichinella
spiralis
hospes definitif dan hospes perantara adalah binatang yang sama. Bentuk larva
terutama ditemukan paa manusia, gajah laut, anjing, kucing, namun daging
karnivor dan omnivor lain pun mungkin mendapat infeksi cacing ini. Bilamana
larva infektif termakan manusia dengan jalan memakan daging karnivora dan
omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, inilah awal dari proses
hidupnya untuk menginfeksi manusia. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di
dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar) karena pengaruh zat
pencernaan. Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan
peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma,
iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain (Susanto,2008).
Menginjak
hari ke-21 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris
lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva itu terkurung di dalam simpai yang
berasal dari serat otot dan berujung tumpul, berbentuk elips dan jeruk,
berukuran 0.40 kali 0.25 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi
bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista
dimakan. Cacing betina mati setelah melepaskan larva-larva dan kemudian
dicernakan atau dikeluarkan melalui usus. Di usus halus bagian proksimal
dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan
segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Susanto,2008).
·
Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
terkini
Cacing
ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Di
daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Frekuensi trikonosis
pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak
hilangnya penyakit ini dari babi. Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan
tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan
tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan
sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa
daging babi yang mengandung larva infektif (Susanto, 2008).
Frekuensi
trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang
diberi makanan dari sisa penjagalan. Tikus yang mendapat infeksi karena makan
sisa daging babi di penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai
tikus. Infeksi Trichinella spiralis pada manusia tergantung dari
lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang
mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan
oleh manusia juga penting. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira
60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam
daging yang diasin atau diasap.
·
Patologi
Selain
kerusakan usus pada stadium dini yang disebabkan oleh cacing dewasa, patologi
dari cacing ini berhubungan dengan reaksi hospes terhadap berbagai aktivitas
larva ini, hasil metabolisme, dan mungkin sekresi toksiknya. Gambaran patologi
yang khas dapat ditemukan di otot-otot bergaris lintang yang mengandung larva
dalam bentuk kista. Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang
disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang
disebabkan cacing ini meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas
gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di
otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot
(mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan, edema
muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot
dapat menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas (Susanto, 2008).
Gejala
lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis,
dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya
terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi pada minggu ke 4
sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis umumnya mengalami
kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita tidak segera diobati,
kematian dapat mencapai presentase lima puluh persen.. Pada pemeriksaan
hematologis, eusinofilia, darah tepi minimal mencapai dua puluh persen.
Terdapat peradangan interstisiel akut di sekitar serabut otot yang kemasukan
parasit, peradangan ini disertai sembab.
Selanjutnya sembab dan peradangan akan berkurang setelah larva mengalami
enkapsulasi, akan tetapi serat otot-otot yang berdekatan mengalami degenerasi
hidropik dan nekrosis hialin (Susanto, 2008).
·
Pencegahan dan Pengendalian
Pemusnahkan
Trichinella spiralis ini yang sebaik-baiknya pada manusia tergantung
pada lenyapnya penyakit ini pada babi. Adanya penyakit ini pada binatang dapat
sangat dikurangi dengan memuInfeksi pada manusia tergantung pada hilang atau
tidaknya penyakit ini dari babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan
sisa penjagalan berupa potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di
penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan,
memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan daging
babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk menghilangkan
sakit kepala dan nyeri otot. Dengan memberikan pendidikan kesehatan, masyarakat
harus diberi penerangan tentang bahaya Trichinella spiralis cara mendapat infeksi dan keharusan memasak
daging babi dengan baik, sampai warna merah muda yang bagus itu menjadi warna
kelabu yang tidak menarik.
I.
Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum
·
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Strongiloidae
Superfamili : Ancylostomatoidea
Genus : Ancylostoma
·
Hospes dan Nama Penyakit
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif dan cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.
·
Epidemiologi, Distribusi
geografik dan kondisi penyakit saat ini
Kedua
parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik yang juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing
ditemukan 72% Ancylostoma braziliense,
sedangkan pada anjing terdapat 18% Ancylostoma
braziliense dan 68% Ancylostoma
caninum. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya
(Susanto, 2008).
·
Morfologi
Ancylostoma braziliense mempunyai dua gigi yang
tidak sama besarnya. Pada cacing jantan pada
panjang cacing ini antara 4,7 – 6,3 mm dan betina antara 6,1 – 8,4 mm.
Sedangkan Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi, pada cacing jantan panjangnya kira – kira 10 mm dan
cacing betina kira – kira 14 mm (Susanto, 2008).
·
Siklus hidup
Telur
dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva
filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir
dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Muslim, 2009).
·
Patologi
Pada
manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease, atau
cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan
serpiginosa, yang antara lain disebabkan oleh Ancylostoma braziliense dan Ansylostoma
caninu. Pada tempat larva filariform menembus kulit, terjadi papel keras,
merah, dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit
yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva
di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok – kelok, terdapat vesikel –
vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk (Muslim,
2009).
Di
Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping
eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama
ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung,
dan pantat.
·
Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan semprotan
klorertil dan Albendazol 400 mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak di
bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2% (Soedarto, 2008).
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjng dan kucing.
BAB III
KESIMPULAN
Nematoda
parasit usus merupakan mampu menginfeksi manusia dan
hewan, karena manusia dan hewan dapat
menjadi hospesnya. Sebagian besar daripada Nematoda ini merupakan
masalah - masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk diantaranya di Indonesia. Penularan cacing Nematoda parasit usus terdapat spesies yang dapat
melalui tanah yang disebut Soil transmitted helminth, yaitu pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis serta yang
tidak ditularkan melalui tanah, yaitu Enterobius
vermicularis dan Trichinella spiralis.
Keadaan morfologi
cacing nematoda parasit usus ini sangatlah beragam; ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang melebihi satu meter. Nematoda parasit usus
mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yag agak
lengkap.
Penyebab tingginya infeksi cacing usus di Indonesia disebabkan oleh iklim
tropik yang panas dan lembab, pendidikan rendah, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan
tertata, sarana
jamban keluarga kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia, karena sebenarnya
telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Bentuk
infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk
secara aktif, adapila yang tertelan atau masuk melalui gigitan vector.
Penularan cacing Nematoda parasit usus, yaitu:
1. Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
2. Larva infektif menembus kulit sehat : Cacing
tambang, Strongyloides stercoralis
3. Telur infektif masuk melalui mulut, melalui
udara atau secara langsung melalui tangan penderita : Enterobius vermicularis
4. Larva infektif masuk mulut bersama daging yang
dimakan :Trichinella spiralis.
Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh
infeksi cacing parasit usus yaitu:
1. Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan
pecernaan, perdarahan dan anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan
perforasi usus.
2. Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi
alergik, kelainan jaringan. Untuk mencegah infeksi nematoda parasit usus
berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2. Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3. Menjaga kebersihan makanan atau memasak
makanan dengan baik.
4. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah
(untuk mencegah infeksi cacing tambang dan strongiloidiasis)
5. Pembuatan MCK yang sehat dan teratur.
Untuk mencegah dan
mengendalikan penularan paraasit usus dapat dilakukan dengan :
1. Mengobati penderita dan massa.
2.
Pendidikan kesehatan pribadi dan lingkungan.
3.
Menjaga kebersihan makanan atau memasak makanan dengan baik
4.
Memakai alas kaki bila berjalan di tanah (untuk mencegah infeksi
cacing tambang dan strongiloidiasis).
5.
Pembuatan MCK yang sehat dan teratur
DAFTAR PUSTAKA
A. Galzerano,dkk. 2010. Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean
country. Eastern
Mediterranean Health Journal La Revue de Sante de la Mediterranee orientale:
EMHJ • Vol. 16 No. 3
Klirgman, B. Arvin.
2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan.
Jakarta: EGC
Nugroho,
Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi
Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung
makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia
Susanto, Inge, dkk.
2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta:
Anggota IKAPI
Wylie,Todd.
2004. Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free –
living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University
School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences,
University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and
3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic
Acids Research, Vol. 32, Database issue
irgman, B. Arvin.
2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC
Muslim. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan.
Jakarta: EGC
Nugroho,
Cahyono, dkk. 2010. Identifikasi
Kontiminasi telur nematode usus pada sayuran kubis (Brassisa oleracea) warung
makan lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universita Ahmad Dahlan. Volume 4 nomor 1
Prianto, Juni. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia
Susanto, Inge, dkk.
2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta:
Anggota IKAPI
Wylie,Todd.
2004. Nematode.net : a tool for navigating sequence from parasitic and free –
living nematodes. The Genome Sequencing Center, Washington University
School of Medicine, St Louis, MO 63108, USA,Department of Genome Sciences,
University of Washington, 1705 NE Paci®c Street, Seattle, WA 98195, USA and
3Divergence Inc., 893 North Warson Road, St Louis, MO 63141, USA . Nucleic
Acids Research, Vol. 32, Database issue
0 komentar:
Posting Komentar