Minggu, 03 November 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vektor adalah arthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit. Binatang tersebut termasuk phylum arthropoda, seperti nyamuk yang dapat bertindak sebagai perantara penularan penyakit malaria, deman berdarah, dan Phylum chodata yaitu tikus sebagai pengganggu manusia, serta sekaligus sebagai tuan rumah (hospes), pinjal Xenopsylla cheopis yang menyebabkan penyakit pes.
Sebenarnya disamping nyamuk sebagai vektor dan tikus binatang pengganggu masih banyak binatang lain yang berfimgsi sebagai vektor dan binatang pengganggu. Namun kedua phylum tersebutlah yang sangat berpengaruh didalam menyebabkan kesehatan pada manusia, untuk itu keberadaan vektor dan binatang penggangu tersebut harus di tanggulangi, sekalipun demikian tidak mungkin membasmi sampai keakar-akarnya melainkan kita hanya mampu berusaha mengurangi atau menurunkan populasinya kesatu tingkat ertentu yang tidak mengganggu ataupun membahayakan kehidupan manusia. Dalam hal ini untuk mencapai harapan tersebut perlu adanya suatu managemen pengendalian dengan arti kegiatan-kegiatan/proses pelaksanaan yang bertujuan untuk memurunkan densitas populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan.


B. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui klasifikasi dari arthropoda sebagai vektor penyakit.
2.      Mengetahui morfologi arthropoda sebagai vektor penyakit.
3.      Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis arthropoda sebagai vektor penyakit.
4.      Mengetahui siklus hidup arthropoda sebagai vektor penyakit.
5.      Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh arthropoda sebagaivektor penyakit.
6.      Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabkan oleh arthropoda sebagai vektor penyakit.


                                                                      BAB II
ISI
Sebagian dari Anthropoda dapat bertindak sebagai vektor, yang mempunyai ciri-ciri kakinya beruas-ruas, dan merupakan salah satu phylum yang terbesar jumlahnya karena hampir meliputi 75% dari seluruh jumlah binatang. Antropoda dibagi menjadi 4 kelas :
1. Kelas crustacea (berkaki 10)                : misalnya udang
2. Kelas Myriapoda                                  : misalnya binatang berkaki seribu
3. Kelas Arachinodea (berkaki 8)            : misalnya Tungau
4. Kelas hexapoda (berkaki 6)                 : misalnya nyamuk
Dari kelas hexapoda dibagi menjadi 12 ordo, antara lain ordo yang perlu diperhatikan dalam pengendalian adalah :
a. Ordo Dipthera yaitu nyamuk, lalat
-Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria
-Nyamuk aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah
-Lalat tse-tse sebagai vektor penyakit tidur
-Lalat kuda sebagai vektor penyakit Anthrax
b. Ordo Siphonaptera yaitu pinjal
- Pinjal tikus sebagai vektor penyakit pes
c. Ordo Anophera yaitu kutu kepala
- Kutu kepala sebagai vektor penyakit demam bolak-balik dan typhus exantyematicus.
Penjelasan dari beberapa spesies tersebut adalah:
A. Anopheles
A.1. Klasifikasi
Phylum            : Arthropoda
Class
               : Hexapoda / Insecta
Sub Class
         : Pterigota
Ordo
               : Diptera
Familia
            : Culicidae
Sub Famili
      : Anophellinae
Genus
             : Anopheles
Spesies
            : Anopheles

A.2. Morfologi

Stadium telur Anopheles yang diletakkan satu per satu di atas permukaan air berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak pada sebelah lateral. Stadium larva Anopheles yang di tempat perindukan tampak mengapung sejajar dengan permukaan air, mempunyai bagian-bagian badan yang bentuknya khas, yaitu spirakel pada bagian posterior abdomen, tergal plate pada bagian tengah bagian dorsal abdomen  dan bulu palma pada bagian lateral abdomen. Stadium pupa mempunyai tabung pernapasan yang bentuknya lebar dan pendek dan digunakan untuk pengambilan O2 dari udara.
Pada stadium dewasa palpus nyamuk jantan dan nyamuk betina mempunyai panjang hampir sama dengan panjang probosisnya. Perbedaanya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus bagian apikal berbentuk gada, sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil. Sayap pada bagian pinggir (kosta dan vena I) ditumbuhi sisik-sisik sayap  yang berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih. Di samping itu, bagian ujung sisik sayap membentuk lengkung (tumpul). Bagian posterior abdomen sedikit melancip.
A.3. Siklus Hidup 
 Gambar siklus hidup Anopheles
Nyamuk Anopheles mengalami metamorphosis sempurna. Telur yang diletakkan oleh nyamuk betina, menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan asampai menjadi dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung kepada spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara. Tempat perindukan nyamuk Anopheles bermacam-macam tergantung kepada spesies dan dapat dibagi menurut 3 kawasan (zone) yaitu kawasan pantai, kawasan pedalaman, dan kawasan kaki gunung dan gunung.   Di kawasan pantai atau laguna (lagoon), rawa dan empang sepanjang pantai, ditemukan Anopheles sundaicus. Di samping Anopheles sundaicus juga Anopheles subpictus menggunakan tempat-tempat perindukan tersebut terutama di danau, di pantai dan empang. Di kawasan pedalaman yang ada sawah, rawa, empang dan saluran air irigasi ditemukan Anopheles aconicus, Anopheles barbirostis, Anopheles subpictus, Anopheles nigerrimus, Anopheles sinensis. Di kawasan kaki gunung dengan perkebunan atau hutan ditemukan Anopheles balabacensis, sedangkan di daerah gunung ditemukan Anopheles maculatus.
A.4. Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Penentuan vector malaria didasarkan atas penemuan sporozoit malaria di kelenjar air liur nyamuk Anopheles yang hidup di alam bebas. Cara yang digunakan adalah pembedahan nyamuk betina. Berbagai faktor yang perlu diketahui dalam rangka menentukan faktor di suatu daerah endemik malaria adalah  kebiasaan nyamuk Anopheles menghisap darah manusia, lama hidup nyamuk betina dewasa lebih dari sepuluh hari, nymauk Anopheles dengan kepadatan yang tinggi mendominasi spesies lain yang ditemukan, hasil infeksi percobaan di laboratorium yang menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan Plasmodium menjadi stadium sporozoit.
Prevalensi kasus malaria di suatu daerah endemi malaria  lainnya tidak sama, tergantung pada perilaku spesies nyamuk yang menajadi vector. Di daerah Cilacap misalnya yang vektor malarianya Anopheles sundaicus, kasus malaria ditemukan lebih banyak dimusim kemarau daripada musim penghujan, karena pembentukan tempat perindukan di muara sungai untuk Anopheles sundaicus meningkat. Sebaliknya untuk daerah Jawa Barat yang vektor malarianya Anopheles aconitus kasus malaria meningkat jumlahnya pada musim hujan, di sawah-sawah terbemtuk tempat-tempat perindukan untuk Anopheles aconitus. Kedua kejadian tersebut terjadi akibat kurangnya perhatian terhadap pengaturan air atau tidak teraturnya pengadaan saluran irigasi.
A.5. Patogenesis
Demam mulai timbul saat pecahnya scizon darah yg nenegeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen akan merangsang makrofag, monosit, atau limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin (al: tumor nekrosis faktor-TNF). TNF akan dibawa ke hipotalamus (pusat pengatur suhu) dan terjadi demam. Lama proses scizogoni:
  1. Plasmodium falciparum: 36 – 48 jam, demam dapat terjadi setiap hari
  2. Plasmodium vivax/ovale: 48 jam, demam selang waktu satu hari
Anemi terjadi karena pecahnya sel darah  merah yg terinfeksi maupun yg tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemi dapat terjadi pada infeksi akut maupun kronis. Plasmodium vivax/ovale menginfeksi sel darah merah yg masih muda (2%), sehingga anemi  terjadi pada infeksi kronis. Terjadi splenomegali (pembesaran limfa) terjadi akibat penghancuran plasmodium oleh sel-sel makrofag dan limfosit.
A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pemberantasan malaria dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan mengobati penderita malaria, mengusahakan agar tidak terjadi kontak natara nyamuk anophelini dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa di bagian-bagian terbuka di rumah (jendela dan pintu), penggunaan kelambu dan repellent, mengadakan penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan pendidikan kesehatan masyarakat yang berkaitan degan upaya memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk dan menempatkan kandang ternak di antara tempat perindukan dan rumah penduduk.
A.    Lalat Tse tse
B.1. Klasifikasi
Kingdom         : Animalia
Filum
               : Arthropoda
Class                : Insecta
Ordo
                : Diptera
Famili
              : Glossinidae
Genus              : Glossina

B.2. Morfologi
Gambar lalat tsetse

Tsetse adalah lalat raksasa dari Afrika, panjang tubuhnya dapat mencapai 1,6 cm dari ujung kepala hingga ekor. Warna tubuhnya bervariasi antara coklat muda dan coklat tua dan mempunyai dua antena di bagian kepalanya, sehingga perbedaanya akan tampak mencolok dibandingkan dengan lalat biasa. Saat tidak terbang kedua sayapnya dilipat secara bertumpuk diatas tubuhnya atau menutup berbentuk gunting. Lalat betina dan jantan keduanya menghisap darah mamalia baik hewan maupun manusia. Lalat Tse tse bersifat pupiparous, yaitu mengeluarkan larva yang sudah berkembang pada setiap periode, dengan memproduksi 8-20 larva. Pada waktu masih dalam oviduct larva memakan sekresi dari kelenjar susu yang khusus. Larva diletakkan pada tempat yang bebas, tanah yang kering dan biasanya terlindung. Larva mempunyai alat gerak dan segera menggali tanah mengubur diri sekitar beberapa cm dari permukaan tanah. Lalat dewasa keluar setelah 2-4 minggu.
B.3. Siklus Hidup
Lalat Tsetse betina tidak bertelur tapi menghasilkan larva, satu per satu. Larva
berkembang di dalam rahim selama 10 hari dan kemudian diendapkan dewasa
pada tanah lembab atau pasir di tempat teduh, biasanya di bawah semak-semak,
batu besar
dan akar
penopang tanaman. Ia segera mengubur sendiri dan berubah menjadi sebuah kepompong. Sayap muncul 22-60 hari kemudian, tergantung pada suhu. Lalat betina hanya sekali kawin dalam hidup mereka dan dengan ketersediaan makanan dan habitat optimum, bisa menghasilkan larva setiap 10 hari.
B.4. Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Lalat yang termasuk genus ini disebut lalat “Tse tse dari Afrika bagian Selatan Sahara. Walaupun sampai sekarang hidupnya terbatas pada daerah tersebut, mereka pernah ditemukan di Oigocen daerah Colorado Amerika. Fosil tertua dari lalat jenis ini pernah ditemukan di Colorado, dan setelah dianalisa usianya lebih dari 30 juta tahun yang lalu, sehingga Tsetse tergolong binatang purba yang masih eksis hingga saat ini.
Namun mengingat Tsetse adalah makhluk yang berbahaya dan dapat berkembang biak dengan pesat, maka tidak diperlukan adanya upaya untuk melestarikan binatang ini.
B.5. Patogenesis
Tsetse adalah carrier (pembawa) bagi parasit Trypanosomiasis, jadi Tsetse tidak menghasilkan racun dan tidak berbahaya sebelum ia sendiri tertular Trypanosomiasis. Lalat ini suka menghisap darah. Apabila darah korbannya telah terinfeksi Trypanosomiasis maka Tsetse akan tertular parasit tersebut dan dapat menyebarkan ke korban-korban berikutnya yang dihisap darahnya, karena air liur dari lalat ini ikut masuk kedalam lubang gigitan saat ia menghisap darah.
Parasit Trypanosomiasis, menyebabkan demam, migrain dan menimbulkan kantuk yang luar biasa. Korban dapat tertidur (biasanya disebut Sleeping Sickness), dan bila tidak segera disembuhkan maka korbannya tidak akan pernah bangun lagi (meninggal). Binatang ataupun manusia dapat terinfeksi parasit ini dan juga dapat saling menularkan dengan perantara Tsetse.
Lalat tsetse merupakan vektor bagi penyakit tripanosomiasis. Gejala dan tanda penyakit yang disebabkan tripanosomiasis ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas 3 fase :
1.  Fase awal (Initial stage)
Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu.
2.  Fase penyebaran (Haemoflagellates stage)
Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia). Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur, sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering muncul antara lain : Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical (Winterbotton’s sign), papula dan rash pada kulit.
Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada penderita.
3.  Fase kronik (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan mengakibatkan terjadinya meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur, insomnia pada malam hari dan mengantuk pada siang hari. Gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir, penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri, pneumonia atau juga kelemahan tubuh.
B.6. Pencegahan dan Pengendalian
Cara pencegahan yang utama adalah berusaha agar tidak tergigit oleh Tsetse, menghindari wilayah yang merupakan habitat Tsetse, kemudian berusaha agar tubuh senantiasa sehat. Trypanosomiasis secara natural dapat terbasmi oleh kekebalan tubuh yang baik. Akan tetapi korban gigitan baik yang selamat karena memiliki kekebalan tubuh yang baik atau yang berhasil diobatipun telah menjadi carrier bagi Trypanosomiasis, sehingga berpotensi menularkan penyakitnya melalui transfusi atau perantara Tsetse.
Pengobatan tripanosomiasis dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila dimulai pada permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat, biasanya pengobatan kurang baik hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan antara lain :
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier dan bersifat toksis pada ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1,2,3,10,11,12,19,20,21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg. Enchephalopati dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul, pengobatan harus dihentikan. Eflornithine, Suramin dan Pentamine digunakan pada pasien pada fase awal dan penyebaran. Sementara Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar